Kenaikan Suku Bunga Acuan Perberat Kinerja Keuangan Emiten Tekstil
Prospek emiten tekstil masih akan mengalami banyak ganjalannya dalam perkembangan bisnisnya di tahun depan. Tak heran, sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) disebut Apindo merupakan satu dari tiga sektor yang akan memberlakukan PHK massal di tahun depan.
Sebut saja, terkendala oleh depresiasi rupiah. Mengingat mayoritas emiten TPT masih impor bahan baku. Belum lagi, pasar ekspor sepi juga berimbas menurunnya nilai penjualan emiten tekstil.
Begitupun karena era kenaikan suku bunga yang diprediksi akan berlanjut di tahun depan.
Head of Research NH Korindo Sekuritas Liza Camelia mengatakan, kesulitan sektor tekstil datang dari ketergantungan transaksi dengan menggunakan dolar AS. Pasalnya, penggunaan mata uang lokal menjadi salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Belum lagi suku bunga acuan yang naik lagi.
Di sisi lain, industri tekstil masih perlu terus melakukan penguatan modal kerja. Ide pertama yang muncul tentunya dengan mengambil kredit ke bank. Masalahnya, perbankan sendiri sudah menyetop fasilitas L/C sejak akhir 2020 lalu. Untungnya OJK mengambil kebijakan memperpanjang periode restrukturisasi kredit selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024.
“Emiten-emiten sektor tekstil punya posisi hutang yang sangat tinggi, di tengah tren kenaikan suku bunga ini sangat tidak wise untuk tidak segera menyelesaikan hutang-hutang besar itu,” kata Liza kepada Katadata.co.id, Jumat (23/12).
Menilik laporan keuangan perseroan, perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) mencatat penjualan hingga akhir September 2022 turun 25,58% menjadi US$ 474,17 juta dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 637,1 juta. Rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk perseroan sebesar US$ 147,7 juta.
Seperti diketahui, saham SRIL telah disuspen 19 bulan lamanya karena PKPU (dari maksimal masa suspensi 24 bulan yang akan dicapai pada 18 Mei 2023). Lapkeu tampak sangat tidak sehat, dengan porsi liability Rp 24.22 triliun. Itu melebihi aset Rp 15.88 triliun, sehingga membuat equity deficit minus Rp 8,34 triliun.
Senasib PT Pan Brothers Tbk (PBRX) mencatatkan penurunan penjualan. Per September 2022, PBRX mengantongi penjualan US$ 501,96 juta atau turun 1,15% secara tahunan alias year on year (YoY). Alhasil, laba bersih perseroan hanya capai US$ 3,381 juta atau anjlok 70,9% dibanding periode sama tahun 2021 yang sebesar US$ 11,625 juta.
“Kondisi finansial PBRX masih jauh lebih sehat, tapi tingkat debt to equity ratio kuartal III 2022 tetap di atas 1. Tapi, PBRX masih bisa survive karena kebantu pasar ekspor,” jelas Liza.
Penurunan penjualan juga terjadi pada PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX) dari Rp 8,95 miliar pada akhir September 2021, menjadi Rp 5,90 miliar di akhir September 2021. Nilai itu turun 34,12% secara tahunan. Saham HDTX juga tengah antre delisting. Saham perseroan sudah membeku 3,5 tahun terakhir. Suspensi itu, genap berumur 42 bulan.
Begitujuga dengan PT Ever Shine Tex Tbk (ESTI) yang mencatatkan pertumbuhan penjualan 4,37% yoy menjadi US$ 22,67 juta. Namun, laba bersihnya anjlok paling dalam 96,46% menjadi US$ 34,98 ribu.
Namun tak semua emiten tekstil bernasib sama. PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL) mencatat penjualan sebesar Rp 312,66 miliar, meningkat 6% dari Rp 293,66 miliar pada periode yang sama tahun 2021. BELL mencatatkan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 6,96 miliar, melonjak 148% dari Rp 2,81 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Selain itu, penjualan PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) juga mampu meningkat 19,63% menjadi US$ 316,14 juta. POLY juga sanggup meraih laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$ 14,28 juta per kuartal tiga 2022. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya POLY menderita rugi bersih US$ 3,52 juta.