Mei hingga Juni, Pelaku Pasar Diimbau Beralih dari Saham ke Obligasi
Di pasar modal akan terjadi volatilitas yang cenderung mengarah ke pelemahan harga saham. Hal itu dipengaruhi faktor gross domestic product (GDP) Amerika Serikat (AS) yang dinilai akan di luar ekspektasi. Untuk itu, pelaku pasar sejenak bisa mengatur portofolio investasinya.
“Untuk strateginya, Mei-Juni pelaku pasar bisa lari sebentar dari pasar saham ke obligasi,” kata Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia Robertus Yanuar Hardy dalam Media Day: April 2023 by Mirae Asset, dikutip Jumat (14/4).
Namun secara jangka panjangnya, seiring tahapan Pemilu maka optimisme pelaku pasar akan kembali. Arus dana ke pasar saham juga akan kembali kencang. Memang jika dilihat secara historikal, pelaksanaan Pemilu memberi imbas positif bagi pasar modal. Apalagi katalis di dalam negeri juga masih positif.
“Short term ada volatilitas tapi dekat Pemilu konsumsi domestik yang baik akan menopang pasar saham. Tapi memang setelah Lebaran sentimennya lebih ke negative surprise dari AS, yang buat saham tidak bagus,” kata Robertus.
Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto mengatakan bahwa persepsi risiko pasar akan membaik pada semester II 2023. Untuk saat ini, kebijakan moneter masih fokus kepada stabilitas, sampai dengan adanya kepastian mengenai arah suku bunga di AS.
Di antara beberapa jenis obligasi, untuk saat ini Rully menilai bahwa obligasi tenor menengah panjang akan cenderung lebih aman. Apalagi potensi fluktuasi pasar masih cukup tinggi mengingat ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi.
“Karena itu, guna menghindari risiko gejolak pasar pada obligasi tenor pendek, kami menyarankan berinvestasi pada tenor menengah panjang, atau artinya di atas 3 tahun,” ucapnya.
Rully memprediksi tahun ini akan menjadi tahunnya investasi obligasi mengingat berakhirnya siklus pengetatan moneter di dalam negeri. Sementara itu di luar negeri, khususnya AS, siklus pengetatan moneter kemungkinan akan berakhir pada semester I 2023.
“Kondisi fundamental makroekonomi dan perbankan yang masih kuat, serta tingkat imbal hasil yang kompetitif mendorong daya tarik pasar obligasi di Indonesia,” kata ia.
Head of Fixed Income Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nita Amalia mengatakan, investasi pada instrumen surat utang atau obligasi khususnya obligasi pemerintah (SBN) dinilai cukup menarik. Sebab saat ini tingkat suku bunga kebijakan Bank Indonesia sudah mencapai puncaknya yang sebesar 5,75%.
“Kami menilai investasi pada obligasi tenor menengah-panjang cukup menarik saat ini agar dapat memanfaatkan momentum harga yang masih menarik di tengah suku bunga yang masih tinggi,” ujarnya.
Nita saat ini menilai obligasi bertenor pendek masih cenderung berfluktuasi mengingat prospek ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian. Sejak awal tahun, return obligasi juga masih positif terutama seiring dengan semakin tingginya kepercayaan investor asing pada efek utang pemerintah Indonesia.
Ketertarikan tersebut dicerminkan oleh porsi kepemilikan SBN oleh investor asing yang mencapai Rp 818,53 triliun atau setara dari 14,89% nilai beredar pada akhir Maret. Posisi investor asing pada obligasi pemerintah tersebut naik dari Rp 762,19 triliun atau 14,36% dari nilai beredar per akhir 2022.
Selain masuknya investor asing ke pasar efek utang Indonesia, ada dua faktor positif lain yang dapat mendukung return investasi investor pada obligasi. Yakni sifat obligasi yang stabil dengan potongan pajak yang rendah dan naiknya target nilai penerbitan obligasi pemerintah tahun ini.
“Dari sisi sifat instrumen, obligasi sering dianggap sebagai instrumen yang lebih stabil dan lebih pasti dibanding dengan instrumen investasi lain, atau bahkan sering dinyatakan sebagai “penjaga kekayaan” karena pergerakannya stabil,” kata Nita.
Dengan kupon pada mayoritas obligasi yang menjadi instrumen investasi ritel menggunakan skema suku bunga tetap atau fixed rate, maka investor tidak perlu khawatir terhadap arus kasnya karena keuntungan bunga atau bagi hasil obligasi akan dibagikan secara berkala.