Di Forum Dunia, Sri Mulyani Jamin Tax Amnesty Bebas Dana Ilegal
Menteri Keuangan Sri Mulyani memanfaatkan acara tahunan Bank Dunia - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di Washington, Amerika Serikat, pekan lalu, untuk menjelaskan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang tengah dijalankan Pemerintah Indonesia. Amnesti kepada para wajib pajak itu diberikan terbatas dan tidak mencakup kepada praktik dna dana-dana ilegal.
Dalam acara tersebut, Sri Mulyani mengaku sempat bertemu khusus dengan pimpinan Financial Action Task Force (FATF) untuk menjelaskan Undang-Undang Pengampunan Pajak di Indonesia. Beleid itu tidak digunakan untuk memfasilitasi dana-dana tindak kejahatan dan tindak pidana pencucian uang.
“Hal (penjelasan) ini penting agar Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar hitam (black list) dan bisa menjadi anggota FATFuntuk menjaga kepentingan Indonesia,” katanya saat konferensi pers mengenai hasil pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF 2016 di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (12/10).
(Baca: Rawan Pencucian Uang, Tiga LSM Gugat Tax Amnesty)
Sekadar informasi, FATF merupakan badan antarpemerintah yang mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dan memproses hasil tindak pidana yang menyembunykan asal usul dana ilegal.
Menurut Sri Mulyani, FATF ini penting dalam menganalisa para wajib pajak yang mencoba menghindari pajak di masing-masing negara. Kegiatan ini juga merupakan upaya bersama negara-negara anggota G20 untuk mengejar para penghindar pajak demi mengejar keuntungan yang lebih besar atau lazim disebut Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Ia juga menjelaskan mengenai perkembangan penerapan pertukaran data keuangan secara otomatis antarnegara atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Menurut Sri Mulyani, negara yang tidak mengikuti aturan AEoI tersebut akan diasingkan oleh nega-negara lain karena dianggap memfasilitasi praktik penghindaran pajak. Sedangkan Menteri Keuangan terdahulu, Bambang Brodjonegoro pernah mengusulan adanya sanksi kepada negara yang berkomitmen mengikuti kesepakatan tersebut tapi kemudian melanggarnya.
(Baca: Dirjen Pajak: Repatriasi Bisa Goyang Bank Singapura)
Sekadar informasi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU Pengampunan Pajak pada akhir Juni lalu. Dalam belied itu, program amnesti hanya berlaku bagi pidana pajak dan tidka mencakup pidana lainnya, seperti korupsi, narkotika, maupun terorisme.
Periode pertama program amnesti ini sudah berakhir pada September lalu. Hingga Rabu ini, jumlah pengungkapan atau deklarasi harta mencapai Rp 3.832 triliun dari estimasi pemerintah sebesar Rp 4.000 triliun saat berakhirnya program ini pada 31 Maret 2017. Dari jumlah itu, jumlah dana pulang (repatriasi) sebesar Rp 143 triliun. Alhasil, jumlah dana tebusan yang diperoleh pemerintah sebesar Rp 97,5 triliun dari target pemerintah dalam APBN Perubahan tahun ini sebesar Rp 165 triliun.
(Baca: Menkeu: Rasio Tebusan Tax Amnesty RI Terbesar di Dunia)
Sebelumnya, Sri Mulyani mengklaim pengampunan pajak di Indonesia paling sukses di dunia jika dilihat dari jumlah dana tebusan. Rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 0,7 persen, lebih tinggi dibandingkan beberapa negara lain yang telah menjalankan program tersebut. Antara lain Cili 0,62 persen dan India 0,58 persen.