BI Pangkas Bunga & Stimulus Besar, Bank Diminta Ikut Pulihkan Ekonomi
Bank Indonesia sejak tahun lalu telah memangkas suku bunga acuan sebesar 225 bps menjadi 3,75%. Suku bunga acuan ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
Gubernur BI Perry Warjiyo pun telah meminta perbankan untuk memangkas bunga kredit dan mendorong penyaluran kredit. Selain bunga acuan yang saat ini sudah sangat rendah, BI telah menginjeksi likuiditas perbankan mencapai Rp 682 triliun atau 4,4% terhadap produk domestik bruto.
"Stimulus moneter BI merupakan yang terbesar di antara emerging markets. Sudah saatnya bank memangkas bunga dan menyalurkan kredit," ujar Perry dalam Pertemuan Tahunan BI, Kamis (3/12).
Perry menegaskan, bank harus ikut andil untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Pelonggaran kuantitatif telah dilakukan BI melalu sejumlah langkah. Salah satunya, penurunan giro wajib minimum 300 bps menjadi 3,5%. Berdasarkan data BI, pelonggaran GWM ini telah menambah lebih dari Rp 500 triliun likuiditas di perbankan.
Stimulus kebijakan moneter akan berlanjut pada tahun depan. BI memastikan suku bunga acuan tetap rendah hingga ada tanda-tanda tekanan inflasi meningkat.
Berdasarkan data BI, rata-rata suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) tenor overnight pada Oktober berada di level 3,29%, posisi ini menurun signifikan dibandingkan pada Januari yang masih mencapai 4,81%. Rerata bunga deposito juga mengalami tren penurunan dari 6,31% pada Desember 2019 menjadi 4,93% pada Oktober.
Namun, rata-rata bunga kredit hingga Oktober 2020 baru turun 1% dari 10,8% pada akhir 2018 menjadi 9,8%. Sebagian besar penurunan bunga kredit terjadi pada tahun ini, yakni sebesar 0,7% dari posisi 10,5% pada akhir tahun lalu.
Berdasarkan data suku bunga dasar kredit Otoritas Jasa Keuangan per akhir Oktober 2020, tiga bank BUMN masih mematok bunga korporasi pada kisaran 9,8% hingga 9,95%, bunga ritel sebesar 9,75% hingga 9,8%, mikro 11,5% hingga 16,5%, KPR 9,9% hingga 10,15%, dan non-KPR 11,6% hingga 12%. Penurunan bunga terutama dilakukan ketiga bank pada jenis kredit ritel. dari rentang 9,8% hingga 11% pada bulan lalu.
Penurunan bunga juga dilakukan pada kredit mikro, KPR, dan non-KPR tapi hanya dilakukan oleh sebagian bank BUMN. Sementara kredit korporasi tak berubah dibandingkan bulan lalu.
BCA mematok bunga lebih rendah dari ketiga bank BUMN per Oktober. Bunga korporasi sebesar 8,25%, ritel 8,75%, KPR 8,75%, dan non-KPR 8,61%. Penurunan bunga dibandingkan bulan sebelumnya hanya dilakukan pada bunga KPR yang semula dipatok 9,4%.
BCA melalui anak usahanya, PT Bank Digital BCA justru mematok SBDK yang sangat rendah pada seluruh jenis kredit, kecuali pada segmen kredit mikro yang tak dimiliki yakni hanya 4,66%.
Suku bunga lebih rendah justru ditawarkan oleh beberapa BPD dan bank asing. Bank-bank asing yang hanya menyalurkan kredit korporasi, seperti JP Morgan Chase Bank mematok bunga 5,06%, Citibank, N.A dan Bank of America masing-masing 6,5%, dan Bank DBS Indonesia 5,82%.
Sementara BPD yang memberikan bunga cukup rendah, antara lain BPD Jatim, BPD Daerah Istimewa Yogyakarta, dan BPD Riau Kepri. BPD Jawa Timur mematok SBDK untuk kredit korporasi sebesar 5,85%, ritel 6,76%, mikro 11,03%, KPR 6,92%, dan non-KPR 8,38%.
BPD Yogyakarta mematok bunga kredit korporasi 6,63%, ritel 6,68%, mikro 6,42%, KPR 6,41%, dan non-KPR 7,04%. BPD Riau Kepri mematok bunga korporasi 7,3%, ritel 6,98%, mikro 7,04%, KPR 5,9%, dan non-KPR 6,65%.
Transmisi bunga kredit pada tahun-tahun sebelumnya juga berjalan lambat. Namun, hal tersebut sering kali disebabkan oleh kondisi likuiditas perbankan yang masih ketat. Kondisi ini antara lain terjadi pada 2016.
Darmin Nasution yang pada saat itu menjabat sebagai Menko Perekonomian menilai kondisi likuiditas perbankan yang masih ketat membuat transmisi penurunan bunga acuan BI ke bunga kredit berjalan lambat.
"Penurunan bunga kredit terus dibahas, tetapi likuiditas masih ada pengetatan sehingga memang penurunan bunga kredit masih belum mengimbangi penurunan kebijakan BI," ujar Darmin usai rapat di Kantor BI pada September 2016, seperti dikutip dari Detik.com.
Pemerintah saat itu ingin menurunkan bunga korporasi ke level satu digit agar dunia usaha dapat semakin bersaing dengan negara tetangga. Pada April 2016, BI resmi mengubah suku bunga acuan dari sebelumnya menggunakan rata-rata suku bunga PUAB tenor 12 bulan atau BI rate menjadi tenor satu minggu atau BI 7 days reverse repo rate.
Saat itu, BI 7 days reverse repo rate ditetapkan sebesar 5,5% dan diturunkan bertahap sebesar 50 bps menjadi 5% hingga September 2016. Namun, penurunan bunga acuan BI tak sesuai harapan lantaran rata-rata bunga kredit korporasi masih berada di level dua digit atau di atas 10% hingga 2017, terlihat dari grafik di bawah ini.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan tren penurunan bunga kredit akan terus berlanjut. Penurunan bunga kredit terutama berpotensi besar terealisasi pada segmen kredit modal kerja. "Penurunan bunga mungkin ke kredit yang terkait dengan pemulihan sektor riil, seperti kredit modal kerja," katanya.