Empat Pekerjaan Rumah Mengembangkan Industri Keuangan Syariah RI
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ada empat hal yang perlu dilakukan dalam mengembangkan industri jasa keuangan syariah di Indonesia. Ini diperlukan agar Indonesia menjadi negara terdepan dalam penerapan ekonomi dan keuangan syariah.
"Semua ini bisa memberikan confidence kita bahwa (keuangan syariah) tetap akan lebih bagus di 2021," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam Webinar Sharia Economic Outlook Ekonomi Syariah Indonesia 2021, Selasa (19/1).
Pertama harus ada upaya bersama agar pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia bisa tumbuh hingga target sebesar 20%. Target ini penuh tantangan, bukan hanya bersaing dengan industri konvensional saja, juga dengan pelaku industri syariah global.
Kedua, perlu ada inklusi dan literasi keuangan syariah yang harus ditingkatkan, berkaca pada literasi keuangan syariah yang masih rendah. Indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masih 8,93% dan 9,1%. Sedangkan indeks literasi dan inklusi nasional sudah sebesar 38,03% dan 76,19%.
Ketiga, pelaku industri keuangan syariah harus menghadirkan lebih banyak lagi produk berbasis syariah, baik saham, sukuk korporasi, reksa dana, asuransi, dan lainnya. Wimboh menilai, harga yang ditawarkan harus bisa kompetitif dengan industri konvensional dan global.
Keempat, penggunaan teknologi serta SDM yang tangguh untuk menghadirkan akses layanan keuangan syariah yang masif, luas, murah dan akurat. "Nanti begitu mau keluar kandang, melipir dulu karena ternyata price-nya di regional lebih murah. Untuk itu, teknologi menjadi backbone yang harus kita lakukan," ujar Wimboh.
Sayangnya, dari beberapa poin yang dibahasnya, industri keuangan syariah belum ada yang siap. Dia juga menyadari diperlukan adanya kebijakan yang tidak biasa (extraordinary).
Wimboh menyambut baik rencana Kementerian BUMN untuk menggabungkan atau merger bank syariah pelat merah. Merger, akan menjadi pengungkit dan benchmark baik dari segi produk, inovasi, akses masyarakat, SDM, dan menjadi role model, bahkan bukan hanya di Indonesia, tapi juga level regional dan global.
Ia mengatakan, merger ini bisa meningkatkan kapasitas dan skala ekonomi operasional bank. Sehingga, bisa memberikan layanan yang lebih baik dan harga yang bersaing dengan jasa keuangan konvensional. Selain itu, merger ini akan didorong agar ada bank syariah yang masuk kategori bank umum kegiatan usaha 4 yang bermodal inti di atas Rp 30 triliun.
Wimboh ingin agar Bank Syariah Indonesia yang merupakan hasil penggabungan Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah ini untuk bisa fokus pada pembiayaan ritel dan UMKM, untuk segmen dalam negeri. Ia ingin, bank berkaca pada pengalaman yang sebelum-sebelumnya.
"Tidak usah ikut pengalaman sebelum-sebelumnya di perbankan syariah yang mengalami permasalah kredit itu adalah yang komersial. Kita tahu itu, kebetulan saya pernah jadi Komut Mandiri, jadi saya bisa cerita. Makanya untuk ke depan, fokus saja ritel dan UMKM," ujar Wimboh.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN Nawal Nely mengatakan, Bank Syariah Indonesia bisa membantu mempercepat perwujudan multiplier effect bagi ekonomi nasional. Melalui merger, diharapkan skala cakupan dan layanan perbankan syariah bisa semakin menjangkau masyarakat.
Harapannya, Bank Syariah Indonesia akan menduduki ranking 7 atau 8 berdasarkan skala asetnya di dalam peta perbankan di Indonesia. Secara global, Bank Syariah Indonesia akan menjadi satu dari top 10 global bank yang islami.
"Kemudian efisiensi biaya terhadap pendapatan secara kolektif, normally akan membaik jika skala aset perbankan syariah ini disatukan. Harapannya adanya konsolidasi, rasio biaya terhadap pendapatan ini bisa menurun ke 45% hingga 50%," ujar Nawal Nely.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana berharap, ke depannya Bank Syariah Indonesia dapat memfasilitasi seluruh kebutuhan pelaku industri di ekosistem ekonomi syariah. Bank hasil merger ini diharapkan bisa meningkatkan aset perbankan syariah yang kini berada di angka 6,51% dibanding total aset perbankan nasional.
“Kami lihat tantangan dalam jangka pendek adalah bagaimana perbankan kita bisa melakukan pemulihan sektor riil dan konsolidasi bisnis untuk mengatasi pandemi," kata Heru. OJK akan memberi dukungan supaya nanti perbankan mempunyai daya tahan untuk menyerap cadangan sebagai dampak dari restrukturisasi kredit yang masih berlangsung.
Berdasarkan data OJK, sepanjang 2020 pertumbuhan aset industri keuangan syariah mencapai 21,48% menjadi Rp 1.770,32 triliun. Jumlah ini mencakup aset yang dimiliki industri perbankan syariah sebesar Rp 593,35 triliun, pasar modal syariah Rp1.063,81 triliun, dan IKNB syariah Rp113,16 triliun.
Pertumbuhan positif di sektor industri perbankan syariah juga terjadi sepanjang 2020. Hingga akhir tahun lalu, pembiayaan Bank Umum Syariah di Indonesia tumbuh 9,5% secara tahunan (year on year), jauh di atas pertumbuhan pembiayaan industri perbankan nasional di level -2,41%.
Pertumbuhan ini ditopang ketahanan yang cukup baik dengan rasio CAR sebesar 21,59%, NPF Gross 3,13%, dan FDR 76,35%.