OJK Bakal Rilis Regulasi Fintech untuk Perkuat Perlindungan Konsumen
Kepala Ekssekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi mengatakan, pihaknya berencana menerbitkan regulasi baru, salah satunya untuk menekan peredaran pinjaman online ilegal.
“Regulasi merupakan pembaruan dari POJK 77/2016 mengenai Fintech P2P Lending. Beberapa hal yang menjadi concern kami terutama terkait permodalan, governance, manajemen risiko, perizinan dan kelembagaan,” kata Riswinandi dalam seminar daring Waspada Jebakan Pinjaman Online Ilegal, Rabu (30/6).
Otoritas telah menyusun Digital Finance Innovation Road Map and Action Plan 2020-2025 untuk mendukung inovasi yang bertanggung jawab di sektor jasa keuangan melalui penyusunan kebijakan yang menyeimbangkan antara inovasi, stabilitas keuangan, dan perlindungan konsumen.
Khusus untuk pengawasan P2P Lending, otoritas tengah mengembangkan Pusat Data Fintech Lending (PUSDAFIL) yakni pengawasan dengan pendekatan berbasis teknologi (SupTech). Progressnya, saat ini sekitar 83 perusahaan terkoneksi/terintegrasi ke PUSDAFIL dan integrasi tersebut masih terus berjalan.
Sejak 2018, Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat lebih dari 3.193 finansial teknologi (fintech) ilegal berhasil ditindak. Jumlah perusahaan fintech peer to peer (P2P) yang terdaftar dan berizin di OJK pun menyusut menjadi 125 perusahaan dari catatan Februari 2020 yakni 165 perusahaan. Adapun saat ini sebanyak 60 fintech P2P memiliki status terdaftar, dan 65 memiliki status berizin.
“Saat ini kami sedang menyelesaikan status 60 perusahaan yang terdaftar tersebut agar menjadi berizin,” ujarnya.
Adapun dari 125 fintech saat ini, jumlah akumulasi rekening entitas peminjam atau borrower mencapai 65,31 juta. Sedangkan jumlah akumulas rekening pemberi pinjaman atau lender mencapai 656 ribu lebih per Mei 2021.
Data otoritas juga menunjukkan hingga Mei 2021, total outstanding penyaluran pembiayaan mencapai Rp 21,75 triliun atau meningkat 69,06% secara tahunan (yoy). Sedangkan akumulasi penyaluran pinjaman nasional hingga 10 Juni 2021 mencapai 207,07 triliun dengan kualitas yang terjaga dimana tingkat Keberhasilan 90 hari berada pada angka sebesar 98,46%.
“Ini mengindikasikan bahwa tingkat non performance relative masih rendah,” katanya.
Riswinandi menambahkan, pihaknya terus mendorong kegiatan literasi, termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat sekaligus menghindari kerugian akibat pinjaman online. Masyarakat juga dihimbau untuk menggunakan jasa Fintech P2P secara resmi dan terdaftar di OJK.
“Kami memastikan bahwa para pemain fintech resmi memiliki tingkat kepatuhan yang baik terhadap regulasi dan peraturan perundang-undangan yang ada. Kami juga siap untuk memberikan sanksi tega bagi yang terbukti melakukan tindakan-tindakan di luar koridor regulasi,” ujarnya.
Ketua SWI Tongam L Tobing memaparkan banyaknya penyebab utama kemunculan Fintech P2P Lending ilegal. Mulai dari mudahnya membuat aplikasi, situs atau web ilegal, disertai tingkat literasi masyarakat yang masih rendah dan kesulitan keuangan.
Selain itu, masyarakat cenderung tidak melakukan pengecekan legalitas, tidak berpikri matang, sengaja tidak membayar, penghasilan tidak cukup, “hingga kebiasaan untuk gali lobang tutup lobang,”ujar Tongam.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan data pribadi. Apalagi, upaya pemerintah untuk mendorong digitalisasi belum disertai regulasi dan inftastruktur yang memadai.
“Pemerintah kedodoran menangani perlindungan masyarakat. Sementara, masyarakat kita masih dengan mudah menyerahkan data pribadinya, sehingga memudahkan penyedian jasa (fintech) yang tidak punya itikad baik.” ujar Tulus.