Cara SMF Menyulut Ekonomi Lewat Pembiayaan di Desa Wisata
Pandemi Covid-19 menjadi tahun yang berat bagi banyak pihak, termasuk industri pariwisata dan penyaluran pembiayaan sektor perumahan. Industri pariwisata di Asia mengalami penurunan sekitar 27 %, dari US$ 225,9 miliar pada 2019 menjadi US$ 164,7 miliar pada 2020, dikutip dari Databoks.
Salah satu upaya PT Sarana Multigriya Finansial alias SMF untuk mendorong industri pariwisata, melalui program kemudahan akses pembiayaan homestay bagi kawasan desa wisata. Di mana, perusahaan Badan Usaha Milik Negara itu telah menyalurkan anggaran Rp 11 miliar untuk program tersebut di 2021, dari total yang disiapkan Rp 20 miliar.
Program pembiayaan itu merupakan sinergi perseroan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional (PEN) di sektor pariwisata. Di mana, sektor tersebut tengah terpukul karena pandemi Covid-19.
SMF telah merealisasikan program pembiayaan homestay di 11 desa yang terletak dalam destinasi super prioritas pariwisata (DSPP) Borobudur, DSPP Mandalika dan daerah potensi pariwisata di Banyuwangi dan Sumedang.
"Realisasi 11 desa untuk 91 unit homestay baru Rp 11 miliar. Kami punya dana Rp 20 miliar. Tahun depan kita tambah 5 desa. Alokasi ke eksisting, buka baru lagi," ujar Direktur SMF Trisnadi Yulrisman, Jumat (26/11).
Hingga akhir tahun ini, Tris optimistis penyaluran program pembiayaan homestay bisa terserap seluruhnya. Hal itu sejalan dengan harapan bangkitnya sektor pariwisata dan ekonomi Indonesia pasca pandemi Covid-19.
Di samping itu, Tris juga melihat potensi sektor pariwisata di sejumlah daerah di Indonesia yang layak untuk dikembangkan menjadi desa wisata. Apalagi perseroan juga menawarkan skema bunga 3 % per tahun dengan pilihan tenor beragam, mulai dari 3 tahun, 5 tahun hingga 10 tahun.
"Banyuwangi (desa wisata) masih akan ada lagi (pembiayaan program homestay) tahun depan, masih banyak daerah di Jawa Timur, serta Jawa Barat seperti Sumedang dan Tasikmalaya," katanya.
Salah satu penerima manfaat program pembiayaan homestay, yakni Lalu Maulidin warga Lombok Selatan. Salah satu pemilik penginapan di Desa Wisata Kuta Lombok itu berhasil menambah cuan dari bisnis homestay selama gelaran World Superbike (WSBK) 2021 Mandalika pekan lalu.
Bisnis hunian yang dia garap menggunakan pembiayaan dari SMF tersebut, ludes dipesan selama gelaran WSBK 2021. Bahkan, harga sewa untuk masing-masing kamar homestay sempat mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat, dari kisaran Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu, menjadi Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu per malamnya.
Bertindak sebagai Ketua Pokdarwis Desa Wisata Kuta, Lalu mendapatkan pinjaman dari SMF senilai Rp 100 juta dengan bunga 3 % dan tanpa agunan. Dana tersebut, kemudian dia gunakan untuk merenovasi kamar penginapan yang disewakan selama WSBK 2021.
Sementara itu, Anggota Badan Usaha Milik Desa alias Bumdes dari Desa Mertak, Lombok Barat, Sri Anom Putra Jaya mengatakan, pinjaman program homestay dari SMF telah membantu bisnis bisnis penginapan bangkit dari dampak Covid-19. Desa yang mengandalkan pendapatan dari bisnis pariwisata tersebut sempat kesulitan sepanjang pandemi berlangsung.
"Kehadiran WSBK 2021 menyadarkan, kalau kami masih kekurangan kamar (homestay). Kami juga berharap ada pelatihan untuk menjadi pengelola homestay yang baik dan nyaman. Apalagi 30% pantai Lombok, ada di Desa Mertak dan wisata-wisata lainnya," ujar Anom kepada wartawan, Jumat (26/11).
Di samping itu, ke depan Anom berharap agar Sirkuit Mandalika bisa dimanfaatkan maksimal oleh pemerintah, tak hanya WSBK saja.
Penyaluran Dana Masih Lesu
Tak ayal tujuannya "bagi-bagi duit" lewat penyaluran kredit, faktanya distribusi dana penyaluran pinjaman SMF tahun ini masih lesu. Berdasarkan paparan kinerja perusahaan yang digelar, Jumat (26/11) di Mataram, Lombok, SMF membukukan realiasi penyaluran pinjaman turun 18,73 % per kuartal III-2021, menjadi Rp 4,9 triliun. Padahal, periode yang sama tahun lalu perusahaan masih mampu mencatatkan penyaluran pinjaman hingga Rp 6 triliun.
Ditambah lagi, pendanaan dalam bentuk penerbitan surat utang dan pinjaman lainnya ikut menurun 44 % di periode yang sama, menjadi Rp 4,6 triliun. Alhasil, pendapatan SMF juga dibukukan lesu per September 2021 menjadi Rp 1,69 triliun alias turun 1,97 %. Sedangkan untuk aset SMF turun sekitar 6 % year on year (yoy) menjadi Rp 30,7 triliun.
Adapun mayoritas distribusi penyaluran dana pinjaman SMF hingga September 2021 masih di kawasan Indonesia Barat. Di mana, porsi penyaluran pinjaman mencapai 84,3 % atau sekitar Rp 4,1 triliun.
Selanjutnya, sekitar 15 % atau setara Rp 735 miliar pembiayaan SMF mengalir ke kawasan Indonesia Tengah. Sisanya, 0,7 % atau sekitar Rp 34,3 miliar dikucurkan ke Indonesia Timur.
"Penyaluran KPR terbatas, relatif memang Indonesia Timur lebih sedikit," kata Direktur Sekuritisasi dan Pembiayaan SMF, Heliantopo, Jumat (26/11).
Pria yang akrab disapa Topo tersebut menjelaskan kalau, bukan hal mudah untuk menyalurkan pembiayaan di tengah pandemi Covid-19. Itu tercermin dari rendahnya penyaluran pembiayaan di Indonesia Timur.
Ke depan, SMF akan tetap gencar melakukan pendekatan dan mendukung peningkatan penyaluran pembiayaan di Indonesia Timur dan Tengah. Tak sampai di situ, SMF juga tengah mendekati bank pembangunan daerah (BPD) untuk menyalurkan dana di wilayah Indonesia Timur. Itu termasuk penjajakan ke Papua dan Kalimantan.
"Jadi concern bagaimana di Indonesia Timur (pembiayaan) kami meningkat. Tapi memang tantangannya likuiditas,” katanya.
Sementara itu, total distribusi penyaluran dana SMF per September 2021 diberikan kepada 1.186 ribu debitur. Di mana, sekitar 61% merupakan penyaluran dalam bentuk pinjaman, diikuti sekuritisasi sebanyak 20,45 %, penyaluran KPR FLPP sekitar 18,4 %, dan terakhir 0,13 % untuk pembelian KPR.