Rupiah Berpotensi Melemah Tembus Rp 16.000 per Dolar AS di Pekan Depan
Potensi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah masih terbuka lebar. Sebab sentimen-sentimen eksternal yang saat ini sudah mendorong penguatan dolar AS masih belum hilang. Alhasil mata uang Garuda berpotensi melemah ke arah Rp 16.000 per dolar AS pada pekan depan.
Demikian dikatakan pengamat pasar uang Ariston Tjendra dan Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo kepada Katadata.co.id, Minggu (22/10).
Ariston mengatakan, kekhawatiran pasar mengenai potensi meluasnya konflik di Timur Tengah masih memicu pelaku pasar masuk ke aset aman seperti emas dan dolar AS.
Selain itu ekspektasi implementasi kebijakan suku bunga tinggi AS lebih lama juga masih mendukung penguatan dolar AS. Tapi beberapa hari terakhir ini, para petinggi bank Sentral AS terlihat berusaha mengerem penguatan dolar AS dengan menyampaikan peluang kenaikan suku bunga AS yang lebih rendah.
Pekan depan beberapa data ekonomi penting AS bisa menjadi katalis baru seperti data PDB, data personal consumption expenditure price index sebagai salah satu indikator inflasi dan data survei sentimen konsumen.
“Bila data dirilis lebih bagus dari ekspektasi, dolar AS bisa menguat lagi dan sebaliknya,” kata Ariston. Adapun potensi support atau penguatan rupiah di sekitar 15.780-15.800 per dolar AS.
Menurut Arsiton, nilai tukar rupiah diharapkan bisa terbantu dari kenaikan suku bunga acuan BI, tapi rupiah bakal melemah bila sentimen negatif dari eksternal menguat.
Senada Sutopo mengatakan, USD IDR meningkat 60 atau 0,38% menjadi 15.870 pada Jumat (20/10) dari 15.810 pada sesi perdagangan sebelumnya. Dalam sepekan ini, rupiah telah melemah 1,15%. Dolar menjadi lebih kuat akibat status lindung nilainya di tengah ketidakpastian geopolitik dan suku bunga tinggi yang lebih lama, serta imbal hasil obligasi yang tinggi.
Sementara, indeks dolar stabil di atas 106 pada hari Jumat lalu karena investor terus menilai prospek kebijakan moneter Federal Reserve sehubungan dengan pernyataan terbaru Ketua Fed Jerome Powell. Powell mengatakan bahwa inflasi masih terlalu tinggi dan kemungkinan memerlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, seraya menambahkan bahwa pengaturan moneter saat ini belum terlalu ketat.
Namun pasar, kata Sutopo memperkirakan bank sentral akan mempertahankan suku bunga stabil pada pertemuan bulan November. Data terbaru juga menunjukkan bahwa klaim pengangguran awal berada di bawah perkiraan pada minggu lalu.
Sementara penjualan rumah yang ada, penjualan ritel, produksi industri, perumahan baru dan izin bangunan mengejutkan secara positif pada bulan September.
Adapun dolar tertinggal dibandingkan kenaikan imbal hasil obligasi dengan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun sempat mencapai 5% untuk pertama kalinya sejak tahun 2007.
“Dari internal, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga untuk mempertahankan nilai tukar. Tetapi efek dasar saat ini bukan hanya pada inflasi tetapi dikarenakan sentimen pada geopolitik yang membuat mode pasar ke risk off,” ujar Sutopo.
Pasar pekan depan akan memperhatikan data indeks harga belanja personal inti AS salah satu indikator favorit The Fed untuk menilai kebijakan ke depan.
“Rupiah pada pekan depan kemungkinan masih dapat melemah, tetapi kisaran dasarnya bisa berada dalam rentang 15.700–16.000,” kata Sutopo.