Fenomena September Effect, Adakah Reli di Pasar Saham dan Kripto?

Hari Widowati
2 September 2025, 19:11
saham, kripto
Unsplash
Dalam dua tahun terakhir, September memberikan imbal hasil (return) positif bagi Bitcoin maupun Ethereum, meskipun masih menjadi bulan dengan rata-rata return historis terburuk bagi Bitcoin sejauh ini.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Para investor global kerap menyebut September sebagai bulan keramat. Menurut sejarahnya, pada periode 1929 hingga 2008 sering terjadi koreksi di pasar keuangan yang kemudian disebut sebagai September Effect.

Pola musiman ini pertama kali tercatat di bursa saham Amerika Serikat sejak awal abad ke-20. Indeks utama seperti S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) cenderung mencatatkan kinerja terburuknya pada September dibandingkan dengan sebelas bulan lainnya.

Analis Reku Fahmi Almuttaqin menyebut fenomena September Effect juga banyak dikaitkan ke pasar kripto. "Bitcoin yang dikenal dengan volatilitasnya, juga menunjukkan pola serupa. Sejak 2013, data historis mencatat rata-rata return Bitcoin pada September cenderung negatif," ujar Fahmi dalam keterangan tertulis, Selasa (2/9).

Dalam dua tahun terakhir, September memberikan imbal hasil (return) positif bagi Bitcoin maupun Ethereum, meskipun masih menjadi bulan dengan rata-rata return historis terburuk bagi Bitcoin sejauh ini.

Fahmi menyebut fenomena September Effect kerap dikaitkan dengan beberapa faktor seperti likuiditas global yang mengetat setelah musim panas.

"Bulan September sering bertepatan dengan momentum ekonomi krusial, seperti rilis data ekonomi penting dan keputusan kebijakan suku bunga The Fed yang monumental. Hal ini seringkali memicu volatilitas pasar dan membuat investor lebih konservatif," ujarnya.

Selain itu, akhir bulan September juga menjadi akhir dari kuartal ketiga. Pada saat itu, banyak investor institusional dan manajer investasi melakukan rebalancing portofolio untuk mengamankan keuntungan (profit-taking) atau memangkas kerugian (tax-loss selling) sebelum akhir tahun fiskal.

"Tindakan ini biasanya menciptakan tekanan jual yang signifikan di pasar," kata Fahmi.

September Effect juga sudah menjadi pengetahuan umum. Investor memiliki ekspektasi negatif sehingga memperkuat tren tersebut.

Banyak pelaku pasar percaya pasar akan turun, sehingga mereka mulai menjual aset, dan hal ini membuat penurunan harga benar-benar terjadi.

Menanti Potensi Reli di 2025

Pada 2025, Fahmi menilai situasi pasar global memiliki dinamika yang unik. Pasar kripto, khususnya Bitcoin dan Ethereum, mendapatkan dukungan kuat dari arus dana institusional. Misalnya, arus masuk dana ke instrumen ETF spot yang menarik investor institusi.

Suplai uang yang terlihat pada indikator US M2 bulan Juli, yang dirilis pada 26 Agustus lalu, menyentuh angka tertinggi baru sepanjang masa. Hal ini dapat mendukung optimisme investor terhadap aset berisiko, seperti saham AS dan kripto. Aliran dana ini akan terus meningkat jika The Fed menurunkan suku bunga acuannya pada pertemuan FOMC pertengahan September nanti.

Meskipun September Effect merupakan pola historis yang menarik, para investor tidak bisa hanya mengandalkan tren ini. Fahmi mengatakan investor harus selalu mengedepankan manajemen risiko yang solid.

"Alih-alih panik atau mengambil keputusan jual secara impulsif, strategi yang dapat dilakukan investor adalah memantau faktor fundamental dan makroekonomi yang sedang terjadi untuk mengambil keputusan investasi yang lebih bijaksana," ujar Fahmi.

Menurutnya, pola musiman hanya salah satu dari sekian banyak indikator yang harus dipertimbangkan dalam strategi investasi. Diversifikasi portofolio seperti dengan mengkombinasikan ekuitas seperti saham-saham yang ditransaksikan di Bursa Amerika Serikat (AS) dan aset kripto menjadi salah satu alternatif yang bisa dieksplorasi.

Fahmi menyarankan agar investor yang lebih konservatif dan baru mulai mengeksplorasi pasar kripto, aset-aset dengan kapitalisasi pasar terbesar, seperti Bitcoin, Ethereum, XRP, dan Solana menjadi pilihan yang menarik.

"Periode pasar saat ini cenderung lebih volatil di mana rotasi kapital di altcoin cenderung lebih dinamis dan aset-aset besar tersebut dapat memiliki ketahanan lebih tinggi," kata Fahmi. Apabila sentimen bullish berkembang, koin-koin tersebut biasanya menjadi pilihan utama para investor besar.

Fahmi merekomendasikan pengguna aplikasi Reku untuk memanfaatkan fitur Packs di Reku untuk lebih mudah mendiversikasi investasi di aset kripto unggulan (blue chips). Dengan fitur ini, investor tidak perlu bingung lagi memilih aset karena portofolio sudah dikurasi dan dibuat menjadi paket atau packs oleh tim Reku.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...