Erick Thohir Ungkap Alasan di Balik Rencana Penggabungan Garuda dan Pelita Air
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mengatakan bahwa penggabungan usaha atau merger antara PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dengan Pelita Air harus dilakukan.
Erick menjelaskan bahwa langkah konsolidasi ini diambil karena jumlah pesawat yang dimiliki Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu, ia menilai bahwa menggabungkan kedua maskapai tersebut merupakan strategi yang tepat untuk menyatukan layanan yang ada, agar dapat lebih fokus pada segmen pasar yang dituju.
“Memang integrasi ini harus terjadi dan memang jumlah pesawat kita kan gak cukup,” ucap Erick Thohir kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/1).
Ia menyebut Garuda Indonesia akan fokus pada layanan premium. Kemudian Pelita Air pada segmen ekonomi premium, dan tentunya ada juga segmen dengan biaya rendah. Ketika ditanya kapan merger tersebut rampung, ia menyebut saat ini masih dalam tahap kajian.
Sebelumnya Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani, mengatakan merger antara Garuda Indonesia dan Pelita Air masih tahap diskusi awal dengan pihak-pihak terkait.
Wamildan menyebut perseroan saat ini tengah dalam proses penyusunan kajian awal dan diskusi dengan pihak-pihak terkait, terutama Kementerian BUMN selaku pemegang saham utama Perseroan. Ia berharap hal itu dapat mengoptimalkan berbagai peluang sinergi bisnis guna memperkuat ekosistem bisnis industri transportasi udara di Indonesia sehingga dapat membawa manfaat berkelanjutan bagi masyarakat.
“Progres dari rencana merger ini akan dusampaikan lebih lanjut sekiranya terdapat perkembangan signifikan berkaitan dengan tahapan maupun realisasi atas rencana strategis tersebut,” ungkap Wamildan dalam keterbukaan informasi BEI, Rabu (8/1).
Adapun dampak pelaksanaan merger, ia menyebut bahwa Garuda Indonesia memandang positif dan akan mendukuung penuh rencana merger dengan Pelita Air. Langkah tersebut tentunya dilandasi dengan kajian yang komprehensif terhadap outlook bisnis dan kinerja Garuda Indonesia.
Berdasarkan catatan Kementerian BUMN, Indonesia seharusnya memiliki 700 pesawat. Akan tetapi usai pandemi Covid-19, RI hanya memiliki 390 pesawat. Artinya, Indonesia saat ini kekurangan 310 pesawat dari target.