Gubernur BI Jaga Pertumbuhan Ekonomi Tak di Bawah 2,3% akibat Corona
Pandemi virus corona diperkirakan memangkas pertumbuhan ekonomi tahun ini yang semula diharapkan tumbuh di atas 5%. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan akan berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi agar tak berada di bawah 2,3%.
"Dengan berbagai langkah kita upayakan tak lebih rendah dari 2,3% dan di atas itu," ucap Perry dalam konferensi video di Jakarta, Kamis (2/4).
Perry menjelaskan, pemerintah saat ini tengah berupaya mengatasi penyebaran virus corona agar tak meluas di dalam negeri. Sementara pihaknya terus menjaga stabilitas rupiah dan tingkat inflasi agar tak menganggu pertumbuhan ekonomi.
Pelemahan rupiah hingga saat ini belum berpengaruh terhadap inflasi. "Inflasi masih rendah karena permintaan masyarakat rendah dan dampaknya menyebabkan inflasi inti rendah," katanya.
(Baca: BI Optimistis Rupiah Menguat Rp 15 ribu hingga Akhir Tahun)
Ia pun meyakini segala usaha yang diupayakan oleh pihaknya bersama pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan akan menjauhkan angka pertumbuhan ekonomi dari skenario terburuk pemerintah di tengah pandemi corona.
"Koordinasi yang erat ini kami harap bisa mengatasi dampak virus corona dan juga segera memulihkan ekonomi ," ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menjelaskan, pemerintah telah membuat berbagai skenario dampak pandemi corona kepada asumsi makro 2020. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diproyeksi hanya mencapai 2,3% pada skenario berat, bahkan turun 0,4% pada skenari terburuk.
Angka tersebut cukup jauh jika dibandingkan dengan asumsi makro pada APBN 2020 sebesar 5,3%.
Menurut Sri Mulyani, skenario pertumbuhan ekonomi tersebut bisa terjadi jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat menjadi 3,2% dalam skenario berat, hingga 1,6% dalam skenario sangat berat. Kemudian, pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya tumbuh 6,83% atau 3,73% yang berpotensi meningkatkan defisit hingga 5,07%.
(Baca: Sri Mulyani: Skenario Terburuk Dampak Corona, Ekonomi RI Minus 0,4%)
Hal ini diikuti dengan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga turun 1,78% hingga 1,91%. Penyebab lainnya, yakni kinerja investasi yang kurang positif, hanya tumbuh 1% atau bahkan menurun 4%. Selanjutnya, ekspor yang menurun tajam 14% hingga 15,6%, serta impor turun 14,5% hingga 16,65%.
Tak hanya pertumbuhan ekonomi, harga ICP juga turut dihitung pada skenario terbaru pemerintah akibat virus corona. Pada skenario berat, pemerintah memperkirakan harga ICP hanya mencapai US$ 38 per barel dan US$ 31 per barel pada skenario sangat berat. Skenario tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan asumsi makro pada APBN 2020 yang sebesar US$ 63 per barel.
Selanjutnya, inflasi juga diperkirakan mencapai 3,9% pada skenario berat dan 5,1% pada skenario sangat berat. Cukup jauh jika dibandingkan asumsi makro tahun ini.
Terakhir, skenario berat menyebut rupiah bisa melemah ke level Rp 17.500 per dolar AS dan Rp 20 ribu per dolar AS pada skenario terburuk.