Rupiah Anjlok, Kemenkeu Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Jadi 5,14%
Kementerian Keuangan memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 5,14% secara tahunan (year on year) pada 2018, atau berada pada batas bawah perkiraan sebelumnya yaitu 5,14%-5,21%. Perubahan proyeksi tersebut lantaran adanya depresiasi kurs rupiah sejak awal tahun hingga kini berada di atas Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Depresiasi kurs memengaruhi pertumbuhan investasi yang merupakan kontributor terbesar kedua pertumbuhan ekonomi. "Kalau kami lihat di 2018 (depresiasi kurs) terutama berpengaruh di triwulan kedua dan ketiga,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (16/10).
(Baca juga: Masyarakat Kelas Menengah Bantu Stabilkan Pertumbuhan Ekonomi 2019)
Kementerian Keuangan memprediksi pertumbuhan investasi hanya akan mencapai 6,76% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 6,83% hingga 6,92%. Penyebabnya, kenaikan bunga kredit imbas kebijakan Bank Indonesia (BI) mengerek bunga acuan buat membantu stabilitas kurs rupiah. Selain itu, harga bahan baku impor yang lebih mahal.
Sementara itu, pertumbuhan ekspor diperkirakan hanya akan mencapai 6,01% secara tahunan, juga melambat dibandingkan perkiraan sebelumnya 7,24%. Lalu, pertumbuhan impor diperkirakan melambat menjadi 11,43%, dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar 11,47%. Perlambatan pertumbuhan impor tersebut imbas harga barang impor yang meningkat.
(Baca juga: Data Perdagangan Melemah, IMF Revisi Turun Proyeksi Laju Ekonomi Dunia)
Untuk konsumsi rumah tangga, Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhannya mencapai 5,06% secara tahunan, masih dalam rentang proyeksi sebelumnya yaitu 5,02% hingga 5,07%. Penyokongnya, belanja pemerintah yang diperkirakan tumbuh 4,17% atau di batas atas proyeksi sebelumnya yaitu 4,02% hingga 4,17%.
Kurs rupiah tercatat mengalami pelemahan sejak Februari tahun ini. Penyebabnya, arus keluar modal asing dari pasar keuangan domestik imbas berbagai isu eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan AS dan perang dagang. Tekanan terhadap kurs rupiah diperberat oleh kondisi defisit pada transaksi berjalan Indonesia. Kondisi defisit menunjukkan kebutuhan dolar AS untuk impor lebih besar dari pada pasokan dolar AS dari ekspor.
Belakangan, tren kenaikan harga minyak dunia juga jadi pemicu arus keluar modal asing. Penyebanhya, lonjakan harga minyak bakal membuat kebutuhan Indonesia akan dolar AS semakin besar untuk pembayaran impor minyak. Ini bisa memperberat upaya stabilisasi kurs rupiah ke depan.