Arah Harga BBM di Tengah Anggaran Subsidi Energi 2019 yang Naik Tipis
Pemerintah mengajukan anggaran untuk subsidi energi tahun depan sebesar Rp 164,1 triliun. Jumlah tersebut tak banyak meningkat dibandingkan perkiraan realisasi tahun ini yang sebesar Rp 163,4 triliun. Padahal, ada risiko berlanjutnya tren kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini menjadi indikasi terbukanya peluang kenaikan harga energi tahun depan.
Tahun ini, pemerintah memperkirakan anggaran buat subsidi energi mencapai Rp 163,4 triliun, melonjak 173% dari target awal yang sebesar Rp 94,5 triliun. Hitungan tersebut lantaran memperkirakan rata-rata harga minyak mentah Indonesia mencapai US$ 70 per barel, lebih tinggi dari asumsi awal US$ 45 per barel. Selain itu, nilai tukar rupiah Rp 13.973 per dolar AS, atau di atas asumsi awal Rp 13.400 per dolar AS.
Untuk tahun depan, pemerintah mengajukan anggaran subsidi energi yang tak banyak meningkat yaitu Rp 164,1 triliun. Meskipun, asumsi nilai tukar rupiah yang digunakan jauh lebih lemah yaitu Rp 15.000 per dolar AS, sedangkan asumsi rata-rata harga minyak mentah Indonesia tetap yaitu US$ 70 per barel.
Mengacu pada besaran anggaran subsidi energi tersebut, opsi kenaikan harga energi tampaknya akan kembali mengemuka di tahun depan. Terutama, bila harga minyak mentah dunia – yang menjadi komponen perhitungan harga minyak Indonesia – lebih tinggi dibandingkan tahun ini, seperti diprediksi sejumlah ekonom. Saat ini, harga minyak Brent berada di kisaran US$ 80 per barel.
Sebelumnya, tim ekonom DBS sempat menganalisis, bila rata-rata harga minyak mencapai US$ 100 per barel di tahun depan, nilai tukar rupiah bisa mencapai Rp 16.500 per dolar AS. Jika ini terjadi, ia pun memprediksi pemerintah Indonesia bakal menyesuaikan harga BBM secara gradual setelah Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). (Baca juga: Bila Harga Minyak US$ 100, Kurs Rupiah Berisiko Tembus 16 Ribu)
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira juga melihat kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi setelah Pilpres. Penyebabnya sama, yaitu adanya risiko harga minyak dunia terus melonjak sementara nilai tukar rupiah kian melemah.
Sementara itu, kebijakan mandatori pencampuran minyak sawit mentah ke dalam solar atau Biodiesel 20 (B20) juga belum berefek signifikan untuk meredam dampak dari lonjakan harga minyak dunia. "Karena switching ke B20 butuh waktu dan tahun depan kelihatannya juga belum optimal," ujar dia kepada Katadata.co.id, Senin (15/10).
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga berpendapat tekanan untuk menaikkan harga BBM membesar. Apalagi, permintaan minyak di dalam negeri sulit untuk dikurangi karena transportasi masih mengandalkan satu jenis energi. Sedangkan, pemerintah belum memikirkan alternatif energi lainnya untuk transportasi.
Sejalan dengan Bhima, kebijakan B20 dinilai David belum berdampak besar lantaran belum berjalan efektif. Ia mengatakan konsumsi minyak mencapai 1,3 juta hingga 1,4 juta barel per hari sementara besaran lifting migas hanya mencapai 700 ribu barel. Besarnya konsumsi minyak dalam negeri juga seiring anggapan masyarakat bahwa Indonesia merupakan produsen minyak.
Pemerintah, kata dia, bisa saja tidak menaikkan harga BBM, dengan konsekuensi penambahan anggaran subsidi. Namun, ia menjelaskan, ada risiko dari penambahan subsidi energi yaitu melebarnya defisit anggaran. Bila defisit ingin dijaga, maka pos anggaran lainnya perlu ada yang dikorbankan.
"Kalau anggaran subsidi meningkat, kelihatannya bisa menggerogoti anggaran lain. Anggaran pendidikan dan kesehatan akan terpengaruh," kata dia. Maka itu, ia menyarankan adanya kenaikan harga BBM secara bertahap dan sebaiknya dimulai tahun ini. Dengan begitu, tidak perlu ada kenaikan harga BBM yang signifikan tahun depan.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati enggan menanggapi tentang kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun depan untuk mencegah pembengkakan anggaran subsidi energi. "Subsidinya, policy-nya sama seperti Nota Keuangan sampai dengan yang kami bahas dengan Komisi 7," ujar dia di Kompleks Parlemen, Senin (15/10).
Adapun dalam Nota Keuangan 2019, pemerintah hanya menjelaskan, anggaran subsidi energi – pengajuan awal sebesar Rp 157 triliun, lebih rendah dari perkiraan realisasi tahun ini yang sebesar Rp 163,4 triliun -- ditetapkan dengan strategi distribusi yang lebih tepat sasaran untuk BBM bersubsidi dan LPG tabung 3 kilogram bersubsidi.
Selain itu, subsidi listrik yang hanya dialokasikan untuk pelanggan rumah tangga dengan daya listrik 450 VA dan pelanggan rumah tangga miskin serta tidak mampu dengan daya listrik 900 VA. Opsi kenaikan harga energi, termasuk BBM bersubsidi tidak disinggung.
Adapun tahun ini, pemerintah memilih menambah anggaran subsidi energi di tengah lonjakan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, dampaknya masih net positif ke anggaran. Tujuannya, untuk mempertahankan daya beli masyarakat yang menjadi penyokong utama laju ekonomi. (Baca juga: Ramai Desakan Kenaikan Subsidi Solar Harus Lewat Revisi APBN 2018)
Risiko pelebaran defisit transaksi berjalan pun dihadapi lewat kebijakan lain, di antaranya pengendalian impor dengan menaikkan tarif impor barang konsumsi dan B20.