Jokowi Minta Anak Buahnya Waspadai Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya mewaspadai fluktuasi nilai tukar rupiah karena dapat mempengaruhi perekonomian dan daya saing Indonesia. Presiden juga meminta jajaran Kabinet Kerja mewaspadai dinamika tingkat suku bunga bank sentral negara lain, pergerakan harga komoditas, hingga arus modal masuk dan keluar.
"Ini harus betul-betul diantisipasi," kata Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (5/3).
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah hari ini berada pada Rp 13.762 per dolar AS. Perdagangan pasar spot hari ini dibuka pada level Rp 13.747 per dolar AS. Hari sebelumnya, perdagangan ditutup pada level Rp 13.757 per dolar AS. Sementara itu, kisaran rupiah hari ini berada pada rentang Rp 14.737 sampai dengan Rp 13.784 per dolar AS.
Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Darmin Nasution mengatakan rupiah yang melemah tembus Rp 13.800 disebabkan dampak pernyataan pimpinan bank sentral AS Federal Reserve Jerome Powell. "Bukan karena masalah dalam negeri," kata Darmin.
Darmin meminta Bank Indonesia melakukan pengendalian, meski risikonya cadangan devisa negara kembali turun. "Tidak ada yang gratisan," kata Darmin. (Baca juga: Tekanan Kurs Berlanjut, Rupiah Tembus Rp 13.700 per Dolar AS)
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan BI perlu melakukan intervensi agar pelemahan rupiah tidak berlanjut lebih dalam. Menurutnya, BI perlu menjaga nilai tukar rupiah sesuai dengan asumsi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2018, yaitu Rp 13.400.
"Targetnya APBN kan Rp 13,400. Berarti itu nilai dianggap target fundamental di angka itu. Kalau jauh dari Rp 13.400, maka BI sudah perlu intervensi," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (5/3).
Jika rupiah terus liar, Bhima mengatakan akan memberikan dampak terhadap harga pangan yang mahal, defisit fiskal membengkak, kinerja ekspor impor terganggu, bahkan perusahaan domestik yang ketergantungan impor seperti perusahaan farmasi bisa berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal karena nilai tukar yang besar.
Namun demikian, Bhima menyatakan intervensi nilai tukar dengan menggelontorkan cadangan devisa membutuhkan biaya yang besar. Ia memperkirakan, cadangan devisa sekitar US$ 16 miliar bisa terkoreksi untuk mengembalikan rupiah.
"Cadangan devisa kita terhadap PDB (Produk Domestic Bruto) cuma 14%, masih kalah dengan Filipina 58%. Cadangan devisa naik karena global bond, bukan karena kenaikan ekspor dan pariwisata," kata dia.
(Baca juga: BI Lihat Risiko Volatilitas Kurs Rupiah Menjelang Maret atau Juni)
Cadangan devisa mencapai US$ 131,98 miliar pada akhir Januari 2018. Jumlah tersebut naik Rp 1,78 miliar dibandingkan akhir Desember 2017. Peningkatan cadangan devisa terutama berasal dari tiga sumber, yaitu penerimaan devisa yang berasal dari pajak dan hasil ekspor migas bagian pemerintah, penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, serta hasil lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) valas.
Menurut Bhima, selain intervensi dengan cadangan devisa, BI dapat intervensi dengan kenaikan BI 7 Days Repo Rate hingga 50 bps. Namun, hingga saati ini BI mempertahankan suku bunga di level 4,25%
"(Bisa intervensi dengan) kenaikan BI 7 Days Repo Rate sampai 50 basis point. Tapi Presiden Joko Widodo mau suku bunga rendah. Kalau begitu, mau nggak suku bunga dinaikan?" kata dia.
(Baca juga: Antisipasi Kenaikan Bunga AS, BI Tahan Bunga Acuan 4,25%)
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi mengatakan pihaknya telah melakukan intervensi saat tekanan yang cukup besar melanda Kamis (1/3) pekan lalu. Perdagangan di pasar spot hari Kamis, rupiah sempat melemah hingga 13.810 per dolar AS. Namun, di akhir perdagangan Kamis sore hari, rupiah menguat ke level 13.748 per dolar AS.