BI: Tiga Indikator Penurunan BI Rate Efektif Tekan Bunga Bank
Bank Indonesia (BI) meyakini dampak penurunan suku bunga acuan, BI Rate, sudah cukup efektif mendorong pemangkasan bunga perbankan. Apalagi dengan rencana peluncuran suku bunga acuan baru, yakni BI 7 Days Repo Rate, bank sentral makin optimistis dampaknya lebih cepat.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan efektivitas penurunan BI Rate bisa dilihat dalam tiga hal. Pertama, suku bunga perbankan, yaitu deposito, dan kredit masing-masing turun 0,8 dan 0,45 persen per Juni. Hal ini mengikuti kebijakan penurunan BI Rate sebesar satu persen dan Giro Wajib Minimum (GWM) 1,5 persen sejak awal tahun. (Baca: Ada Dua Ketidakpastian Ekonomi, BI Ragu Longgarkan Moneter).
BI rate merupakan bunga acuan untuk tenor setahun, sementara BI 7 Days Repo Rate bunga acuan dengan tenor seminggu. Jika sebagian bank menggunakan BI Rate atau yang bertenor lebih pendek sudah berpengaruh baik, kata Perry, penerapan BI 7 Days Repo Rate akan berdampak lebih signifikan. Apalagi Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) sudah diformulasikan agar bank bisa menggunakan bunga acuan baru tersebut.
“Transmisi akan lebih efektif (dengan BI 7 Days Repo Rate) baik untuk deposito, kredit, atau pun pasar keuangan. Pasar keuangan tenor 0 - 6 bulan sudah mengikuti struktur suku bunga moneter,” kata Perry usai menghadiri 10th International Conference Bulletin of Monetary Economic and Banking di Gedung BI, Jakarta, Senin, 8 Agustus 2016. (Baca: Terakhir Kali Jadi Bunga Acuan, BI Rate Tetap 6,5 Persen).
Sekadar informasi, BI 7 Days Repo Rate merupakan suku bunga acuan baru bertenor seminggu yang akan dirilis pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 19 Agustus nanti. Sementara JIBOR adalah rata-rata suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah tenor tertentu di Indonesia.
Kedua, transmisi melalui likuiditas yang membaik saat ini bukan hanya didorong oleh penurunan BI Rate tetapi juga karena pemerintah tidak ekspansi fiskal secara besar. Artinya, pemerintah memilih menurunkan belanja ketimbang mengejar penerimaan pajak.
Hal ini berbeda dari kondisi di akhir tahun lalu ketika pemerintah mengejar penerimaan pajak sehingga mengetatkan likuiditas. Selain itu, ia juga melihat ada dampak dari penurunan GWM terhadap likuiditas di perbankan.
Ketiga, dampak penurunan BI Rate terhadap rupiah dibarengi dengan ketidakpastian yang tinggi. Selain imbas dari pelonggaran moneter, dia melihat penguatan rupiah juga disebabkan oleh inflasi yang stabil dan perbaikan pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari ketiga indikasi, Perry yakin transmisi dari penurunan BI Rate sudah cukup efektif.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa pertumbuhan kredit belum meningkat signifikan meksipun kebijakan makroprudensial sudah dilonggarkan. Stagnannya pertumbuhan kredit ini disebabkan oleh permintaan yang rendah imbas perlambatan ekonomi. (Baca: Kenaikan Kredit Bermasalah Perbankan Meluas ke Berbagai Sektor).
Lending belum kuat karena permintaan belum kuat. Transmisi ke kredit memang agak lambankarena akan sangat bergantung pada berbagai faktor.”
Tahun ini, BI memperkirakan kredit hanya tumbuh 10 - 11 persen. Walau demikian, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan kondisi perbankan saat ini masih baik. Misalnya, hal itu terlihat dari rasio kecukupan modal, Capital Adequacy Ratio (CAR) di kisaran 22 persen.
Kemudian, kebijakan pemotongan anggaran sebesar Rp 133,8 triliun juga akan membantu likuiditas perbankan karena pemerintah tidak harus mengeluarkan surat utang.