Uang APBN Dipastikan Tidak untuk Suntik Bank Sakit
KATADATA - Bank yang berdampak sistemik akan dipantau dan dipaksa untuk menyelesaikan masalah keuangannya ketimbang mengandalkan suntikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketentuan tersebut termaktub dalam Undang - Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis sore, 17 Maret 2016.
Kemarin, sidang paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis berjalan lancar tanpa ada interupsi dari anggota Dewan. Hal ini membuat Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang memimpin sidang dengan cepat dapat mengesahkan rancangan aturan tersebut. “Berati kita setujui RUU ini,” kata Taufik sembari mengetuk palu.
Ketua Panitia Kerja Pencegahan dan Penanganan Krisis Komisi Keuangan DPR Muhammad Prakosa mengatakan undang-undang tersebut mengatur seluruh mekanisme penyelamatan bank tanpa suntikan APBN seperti yang terjadi sebelumnya. “Tidak ada peluang bail out sama sekali di sini,” kata Prakosa saat membacakan laporan Panitia Kerja. (Baca: Bail Out Bank Tanpa Dana APBN, Pemerintah Ganti Nama RUU JPSK).
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan mekanisme bail in merupakan inti utama dari Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis. Salah satu aspek yang ditekankan dalam beleid ini adalah pengawasan bank berdampak sistemik dalam kondisi ekonomi normal dalam rentang waktu tiga bulan sekali. “Metode bail in kami lakukan secara komprehensif dan melalui rencana aksi penyehatan perbankan memadai,” kata Bambang.
Dalam undang-undang ini, mekanisme bail-out memanag tidak lagi digunakan. Penanganan perbankan dalam menghadapi krisis akan memakai bail-in. Dua langkah ini berbeda terutama pada sumber dananya. Bail-out merupakan suntikan likuiditas langsung dari APBN, dana bail-in berasal dari Lembaga Penjamin Simpanan dalam bentuk pinjaman yang harus dikembalikan melalui premi. Bail-in lebih berfokus kepada pencegahan krisis sehingga suntikan likuiditas diberikan sebelum sebuah entitas dinyatakan gagal bayar. (Lihat pula: DPR Pertanyakan Batas Pinjaman ke LPS dalam RUU JPSK).
Namun, terbatasnya dana LPS menjadi halangan. Pemerintah memperkirakan dana kelolaan LPS sebesar Rp 60 triliun tidak akan cukup untuk meredam dampak yang timbul apabila terjadi krisis finansial. Oleh karenanya, LPS dimungkinkan mengajukan pinjaman ke pemerintah, kemudian pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Hasil penerbitan SBN tersebut akan dipinjamkan ke LPS yang harus dikembalikan kepada pemerintah. LPS juga dapat mengajukan pinjaman ke BI dengan jaminan pemerintah.
Dalam sidang paripurna tadi, Bambang menyambut baik pengesahan aturan ini setelah pembahasannya tertunda delapan tahun. Bambang mengatakan Presiden akan menetapkan suatu kondisi dinlai krisis atau tidak berdasarkan masukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Ini juga menyangkut empat lembaga yang ada di dalam KSSK. (Baca: Protokol Penanganan Krisis Cegah Penyelewengan Uang Masyarakat).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan, untuk menghindari bail out, LPS dapat menggunakan mekanisme bridge bank atau purchase and assumption. Bridge bank adalah mekanisme di mana LPS dapat membuat bank baru dari aset sehat milik bank sakit. Sedangkan purchase and asuumption merupakan mekanisme di mana LPS memisahkan aset bank sakit untuk dijual ke investor lain. “Ini semua manfaatkan aset baik perbankan, dalam Purchase and Assumption aset akan dilelang, dalam bridge bank aset akan diparki,” kata Fauzi.
Sedangkan Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon mengatakan OJK dan LPS akan segera menerbitkan aturan turunan dari aturan tersebut. Hal ini untuk menunjang aturan teknis dan prosedural bail in lebih spesifik sesuai amanat Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis. “Akan kami spesifikasi (aset bank sakit) yang bisa dikonversi menjadi saham,” kata Nelson.