Kadin Dorong Pembiayaan Non Perbankan Mendanai Infrastruktur
KATADATA ? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut Pemerintah bisa mendapatkan tambahan dana untuk membiayai infrastruktur sebesar Rp 140 triliun. Tambahan dana ini bisa didapat dari dari pembiayaan non perbankan.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perbankan dan finansial Rosan P Roeslani mengatakan saat ini jumlah dana yang ada di pembiayaan non perbankan mencapai Rp 700 triliun. Masalahnya, hanya 5 persen atau sebesar Rp 35 triliun dari dana tersebut, yang bisa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
"Padahal kalau porsinya diperbesar hingga 20 persen bisa membantu pendanaan infrastruktur," kata Rosan saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (6/3).
Jika, dana pembiayaan non perbankan ditingkatkan menjadi 20 persen saja, maka ada potensi sebesar Rp 140 triliun yang bisa digunakan untuk infrastruktur.
Rosan menyebut dana non perbankan ini utamanya berasal dari kelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dana pensiun, asuransi, serta dana semodel dana haji. Jangka waktu pengembalian modal dari dana ini cukup panjang, sangat cocok jika digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur yang sifatnya jangka panjang.
Makanya, dia meminta pemerintah untuk bisa mengoptimalkan dana tersebut. "Perlu kebijakan pemerintah untuk menghilangkan batasan-batasan penggunaan dana tersebut," kata Rosan.
Senada dengan Rosan, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati meminta Pemerintah mengoptimalkan dana-dana semodel ini untuk membiayai infrastruktur. Dia beralasan risiko dari pembiayaan dana non perbankan terhitung sangat minim.
"Risikonya hanya ada dari segi proyeknya sendiri," kata Enny kepada Katadata.
Enny juga meminta pemerintah bisa memberikan jaminan hukum kepada proyek-proyek yang dibiayai oleh dana non perbankan ini. Ini penting untuk meminimalkan risiko pada setiap proyek infrastruktur.
Menurut dia, banyak proyek yang dulunya tercakup dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) berhenti pelaksanaannya di era Presiden Joko Widodo. Alasannya, karena dasar hukum MP3EI tidak cukup kuat untuk dilanjutkan.
Jaminan hukum yang kurang kuat ini membuat risiko pembiayaan di sektor infrastruktur menjadi tinggi. Pembiayaan non perbankan tidak akan tertarik mendanai infrastruktur. Apalagi dana non perbankan ini memiliki waktu jatuh tempo yang harus disesuaikan dengan pembangunan proyek infrastruktur itu sendiri.
"Selain itu pengelolaan dana juga harus jelas, karena ada biaya pembebasan lahan dan koordinasi yang harus dilakukan dengan Pemerintah Daerah," kata Enny.