Belum Ada Vaksin Covid-19, Chatib Basri: Memprediksi Ekonomi Sia-sia
Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai sulit memprediksi dampak ekonomi dari penyebaran virus corona atau Covid-19. Selama belum ditemukannya vaksin dari virus mematikan yang berasal dari Wuhan, Tiongkok sulit memproyeksikan dampak Covid-19.
"Membuat prediksi di masa seperti ini itu pekerjaan yang sia-sia. Karena begitu banyak variabel yang kita tidak bisa pegang, yang tidak bisa kita kontrol," kata Chatib Basri dalam Bicara Data Virtual Series bertajuk "Krisis Covid-19 & New Normal Ekonomi Indonesia" yang diadakan Katadata.co.id, Jakarta, Jumat (8/5).
Pemerintah, kata Chatib, optimistis penyebaran pandemi akan berangsur pulih pada bulan Juni. Namun hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja belum memberi bukti jika seorang yang telah terkena Covid-19 tak bisa kembali terinfeksi.
(Baca: Mendag Kaji Protokol Tes Covid-19 untuk Pedagang Pasar)
Dengan belum adanya bukti dari klaim pendapat yang optimis tersebut, Chatib menilai kemungkinan potensi penyebaran Covid-19 gelombang kedua. "Artinya persoalan ini tidak akan selesai sebelum vaksinnya ada," katanya.
Sehingga, kata Chatib, permasalahan Covid-19 di Indonesia kemungkinan tidak akan selesai di bulan Juni. Melainkan, berpotensi lebih lama sampai vaksin ditemukan.
Dia menilai bila semakin lama Covid-19 menetap di Indonesia, dampak terhadap perekonomian akan semakin parah. Karena, membuat semakin panjangnya pengurangan aktivitas ekonomi di luar rumah.
(Baca: Tips Chatib Basri Kelola Keuangan saat Corona: Harus Banyak Cash)
Chatib menjelaskan bahwa tak seluruh aktivitas ekonomi dapat dilakukan secara virtual. Sehingga, aktivitas yang membutuhkan fisik akan sangat bergantung pada penyebaran pandemi. Dia mencontohkan selama masih pandemi masyarakat akan mengurangi aktivitas di pasar tradisional karena di tempat itu sulit untuk tidak saling berdekatan.
Maka dari itu, pemerintah hanya bisa membuat skenario dari kondisi saat ini. "Karena memang tidak ada yang tahu persis," kata dia.
Pemerintah sebelumnya telah menyusun skenario berat di tengah pandemi Covid-19. Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diperkirakan hanya menyentuh 2,3%.
Rinciannya, kuartal I tumbuh sebesar 4,7%, kuartal II sebesar 1,1%, kuartal III sebesar 1,3% dan kuartal IV 2020 tumbuh 2,4%. Berdasarkan skenario berat ini, stimulus fiskal membutuhkan pelebaran defisit hingga 5,07% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain skenario berat, pemerintah juga menyusun skenario terburuk di tengah pandemi corona. Dalam skenario terburuk, perekonomian diperkirakan akan negatif 0,4%.
(Baca: Pemerintah Buat Kajian Awal Pemulihan Ekonomi dari Corona Mulai 1 Juni)
Skenario terburuk pemerintah bisa terjadi jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, menjadi 3,2% dalam skenario berat, hingga 1,6% dalam skenario sangat berat. Kemudian, pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya tumbuh 6,83% atau 3,73% yang berpotensi meningkatkan defisit hingga 5,07%.
Hal ini diikuti dengan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga turun 1,78% hingga 1,91%. Penyebab lainnya, yakni kinerja investasi yang kurang positif, hanya tumbuh 1% atau bahkan menurun 4%. Selanjutnya, ekspor menurun tajam 14% hingga 15,6%, serta impor turun 14,5% hingga 16,65%.
(Baca: Kadin Pantau Pengangguran Tembus 10 Juta Orang Imbas Pandemi Corona)