Kontroversi Masuknya Aturan Pajak dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja
Pemerintah dan DPR menyelipkan empat revisi undang-undang terkait perpajakan dalam Omnimbus Law Cipta Kerja. Padahal, revisi UU tersebut semula akan masuk dalam Omnimbus Law Perpajakan.
Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Achmad Baidowi menjelaskan, klaster perpajakan memang tidak masuk dalam usulan awal, tetapi mucul seiring perkembangan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Masuknya klaster perpajakan dalam beleid tersebut juga telah dibahas oleh Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
"Yang terpenting disampaikan dalam forum resmi panja," kata Baidowi kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).
Pemerintah sebenarnya lebih awal menyampaikan RUU Omnibus Law Perpajakan dibandingkan RUU Cipta Kerja kepada DPR meski hanya selang beberapa hari. RUU Omnibus Law Perpajakan sendiri belum sama sekali dibahas oleh pemerintah dan DPR. Ini, menurut Baidowi, karena pemerintah selaku pengusul beleid tersebut hingga kini belum mengajukan permintaan pembahasan dengan DPR.
Pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan oleh pemerintah dan DPR secara maraton dan kilat. Aturan sapu jagat berisi 15 bab dan 186 Pasal yang termaktub dalam 905 halaman rampung kurang dari delapan bulan melalui 64 kali rapat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan masuknya beberapa revisi UU Perpajakan dalam UU Cipta Kerja terjadi karena sebagian revisi UU yang seharusnya masuk dalam Omnimbus Law Perpajakan sudah diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2020. Dengan demikian, revisi UU perpajakan yang masuk dalam UU Cipta Kerja adalah bagian dari Omnimbus Law Perpajakan yang belum masuk di UU Nomor 2.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan revisi aturan perpajakan yang ada dalam Omnimbus Law Cipta Kerja merupakan klaster yang berkaitan dengan ekosistem dan investasi. Keempat UU yang dimaksud yakni aturan terkait Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak dan Retribusi Daerah.
"Jadi kalau ada yang menyatakan bahwa ini suatu pemasukan pasal-pasal dari UU Omnimbus Law Perpajakan, itu tidak benar karena sudah ada pembahasannya dengan DPR," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers pemerintah terkait UU Cipta Kerja, Rabu (7/10).
Pengamat pajak dari DDTC Bawono mengatakan klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan berpengaruh pada penerimaan negara tahun ini, Namun, kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha yang dapat berdampak positif pada penerimaan pajak dalam jangka panjang.
"Ini merupakan langkah strategis pemerintah untuk memulihkan ekonomi. Tanpanya upaya optimalisasi seperti ini penerimaan justru akan lebih menantang," ujar Bawono kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).
Kemudahan dan kepastian berusaha, menurut dia, adalah kunci bagi investasi dan daya saing Indonesia. Secara tidak langsung, menurut dia, ini akan menjadi kunci perluasan basis pajak. "Khusus untuk kepastian hukum dalam perpajakan dengan mengurangi sanksi dan denda diharapkan akan meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela," katanya.
Penerimaan pajak pada tahun depan, menurut Bawono, tetap akan menantang. Hal ini lantaran pemulihan penerimaan pajak yang biasanya lebih lambat dari perekonomian. "Umumnya pemulihan pajak akan lebih lambat dari ekonomi," katanya.
Target pendapatan negara pada APBN 2021 mencapai Rp 1.743,6 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 1.444,5 triliun, PNBP Rp 298,2 triliun, dan penerimaan hibah Rp 900 miliar. Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak yang diproyeksikan akan mencapai Rp 1.229,6 triliun dengan fokus memberikan dukungan insentif secara selektif dan terukur untuk percepatan pemulihan ekonomi serta melanjutkan reformasi pajak.