Warga Miskin Tak Mengurangi Konsumsi Rokok Meski Penghasilan Anjlok
Survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa 77,1% responden keluarga miskin tidak menurunkan konsumsi rokok-nya selama pandemi Covid-19. Konsumsi rokok mereka bahkan cenderung meningkat meski penghasilannya anjlok.
Survei dilakukan kepada 1.013 kepala keluarga miskin secara tatap muka. Survei ini digelar di lima wilayah aglomerasi utama di Indonesia yaitu Jakarta Raya (Jabodetabek), Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya.
Dari total responden tersebut, 73,2 persen perokok miskin mempertahankan pengeluaran rokok-nya meski kondisi ekonomi menurun.
"Dengan demikian, pengeluaran kebutuhan lain yang turun atau bahkan ditiadakan agar dapat terus merokok dengan kuantitas yang sama," kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulis, kamis (01/07).
Survei bahkan menunjukkan 39,7% responden mengaku rela membeli rokok yang sudah biasa mereka konsumsi meski harganya meningkat saat pandemi. Sedangkan 21,2% responden memilih untuk menurunkan pengeluaran untuk rokok karena penghasilan yang turun signifikan
"Mereka beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah. Namun, berpindah ke rokok murah membuat perokok miskin mempertahankan kuantitas konsumsi rokok dengan pengeluaran yang lebih rendah," katanya.
Survei ini juga menunjukkan, rata-rata pengaluran keluarga miskin untuk rokok turun hingga 10% selama pandemi dari Rp 406 ribu menjadi Rp 364 ribu per bulan. Meski secara nominal turun, beban pengeluaran rokok keluarga miskin secara riil tidak menurun.
Proporsi pengeluaran untuk rokok pada pengeluaran utama keluarga miskin tidak berubah yakni di kisaran 15 persen, baik sebelum maupun saat pandemi. Yusuf menekankan, Krisis tidak membuat keluarga miskin mengurangi beban pengeluaran rokok-nya.
Dalam survei tersebut terlihat bahwa perokok di keluarga miskin didominasi laki-laki dengan posisi di keluarga sebagai ayah (suami) dan anak laki-laki mencapai 89,4 persen dari responden perokok.
"Prevalensi (jumlah) perokok di keluarga miskin rata-rata 11,3%, dengan konsumsi rokok rata-rata mencapai 8,6 batang per hari,” terang Yusuf.
Profil Keluarga miskin perokok dicirikan dengan pendidikan kepala keluarga yang rendah. Lebih dari 75 persen responden hanya menamatkan pendidikan pada tingkat SMP. Profesi dominan adalah berdagang, buruh bangunan, buruh lepas, dan bekerja serabutan.
"Ironisnya, 17,9 persen dari kepala keluarga miskin dengan perokok, berstatus tidak bekerja," katanya.
Menurut Yusuf, rokok telah menjadi ‘kebutuhan dasar’ bagi keluarga miskin dan setara dengan kebutuhan pangan. Rokok adalah pengeluaran keluarga miskin yang prioritas dan signifikan, mencapai hingga Rp 400 ribu per bulan, dan tidak tergeser bahkan ketika pandemi menerpa.
"Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari, dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik," katanya.
Ia mengatakan, harga rokok saat ini masih terjangkau oleh kelompok miskin. Selain itu distribusi penjualan yang masif nyaris tanpa batas dengan sebagian besar jalur distribusi rokok dilakukan melalui jalur ritel tradisional membuat orang miskin dapat terus merokok.
"Ritel tradisional ini tidak hanya menjual rokok per bungkus namun juga secara ‘ketengan’ (per batang), yang kian memudahkan perokok muda dan perokok termiskin sekalipun untuk tetap terus merokok," ujarnya.
Hasil survei Komnas Pengendalian Tembakau yang dirilis pada Februari lalu juga menunjukkan sebagian besar perokok tak menurunkan konsumsi rokok selama pandemi virus corona Covid-19. Sebanyak 48,5% responden dengan pendapatan kurang dari Rp 5 juta yang tetap mempertahankan konsumsi rokoknya saat pandemi, sedangkan 53,8% responden dengan pendapatan lebih dari Rp 5 juta mempertahankan konsumsi rokoknya.