Pajak Sembako dan Tax Amnesty Jilid II Masih Masuk Pembahasan RUU KUP

Abdul Azis Said
13 September 2021, 19:54
pajak sembako, tax amnesty, RUU KUP
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) menjelaskan, perluasan basis pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi salah satu upaya pemerintah mereformasi perpajakan melalui RUU KUP.

Pemerintah bersama DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sembako dan pelaksanaan program peningkatan kepatuhan pajak atau tax amnesty jilid II yang menuai beragam kritik dan sempat dikabarkan batal masuk dalam RUU KUP masih menjadi poin usulan pemerintah. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, perluasan basis pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi salah satu upaya pemerintah mereformasi perpajakan melalui RUU KUP. Ini antara lain dilakukan dengan mengeluarkan kategori bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan kesehatan yang saat ini dikecualikan dari objek PPN. 

Meski demikian, ia memastikan, bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan kesehatan yang dikonsumsi masyarak at banyak akan dikenakan PPN dengan tarif  lebih rendah dari normal, bahkan berpeluang mendapat pembebasan tarif. 

"PPN hanya akan dikenakan untuk barang kebutuhan pokok tertentu yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi misalnya, beras atau daging berkualitas khusus yang biasanya berharga mahal," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan, Senin (13/9).

Pengenaan PPN juga tidak akan dikenakan pada jasa kesehatan yang ditanggung oleh sistem jaminan kesehatan nasional  atau BPJS Kesehatan. Sri Mulyani mencontohkan, jenis layanan kesehatan yang mungkin akan dikenakan PPN adalah jasa klinik kecantikan dan estetika atau operasi pelastik yang bersifat nonesensial.

Ia juga menjelaskan, PPN untuk jasa pendidikan hanya akan diterapkan untuk jasa yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan komersial. Ini mencakup lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

"Dengan demikian, madrasah dan lain-lain tentunya tidak akan dikenakan dalam skema PPN ini," kata Sri Mulyani.

Sementara itu, jenis barang dan jasa yang masih dipertahankan untuk bebas PPN yakni, jasa yang sudah menjadi objek PDRP seperti restoran, hotel, parkir dan hiburan. Kemudian, jenis aset seperti uang, emas batangan untuk cadangan devisa negara dan surat berharga juga dibebaskan dari PPN. Jasa pemerintahan umum yang tidak dapat disediakan pihak lain, serta jasa penceramah juga bebas PPN.

Sri Mulyani berencana mengubah skema pungutan PPN dari satu tarif menjadi multitarif dengan rentang 5% hingga 25%. Semenara tarif PPN yang berlaku umum akan dinaikkan dari 10% menjadi 12%. 

"Pengenaan multitarif dilakukan untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak," kata dia. 

Meski demikian, menurut dia, ada dua isu yang menjadi masukan dari berbagai pihak dalam diskusi yang dilakukan pemerintah dengan asosisasi pengusaha, pengamat ekonomi, akademisi, dan berbagai pihak lainnya terkait rencana penerapan kebijakan baru PPN ini. Pertama, perlu dipertimbangkan aspek kesederhanaan dan biaya yang ditimbulkan. Kedua, perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk menaikkan tarif. 

Selain kebijakan PPN, Sri Mulyani juga tetap mengusulkan program peningkatan kepatuhan wajib pajak yang dikenal sebagai tax amnesty jilid II. Pertama, pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh program pengampunan pająk. Kedua, pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harga yang belum dilaporkan dałam SPT pajak penghasilan orang pribadi tahun pajak 2019. 

"Program peningkatan kepatuhan Wajib Pajak memerlukan penguatan penegakan hukum pasca implementasinya. Potensi terjadinya moral hazzard karena dipersepsikan tax amnesty yang berulang," kata Sri Mulyani.

Pemerintah juga memberikan sejumlah usulan lainnya dalam RUU KUP, yakni mencakup:

  1. Pengepakan hukum fidana pajak dengan menekankan denda dibandingkan pidana
  2. Pengaturan naturan menjadi penghasilan bagi penerima dan biaya bagi pemberi kerja
  3. Penambahan lapisan tarif PPh wajib pajak orang pribadi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar
  4. Memberikan landasan bagi pemerintah untuk melakukan koreksi yang diindikasikan dapat mengurangi, menghindari dan/atay memnunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
  5. Penyesuaian insentif Wajib Pajak UMKM dengan omzet Rp 50 miliar ke atas.
  6. Penerapan pajak minimum perusahaan 
  7. Penetapan objek cukai berupa produk plastik. 
  8. Pengenaan pajak karbon untuk memulihkan lingkungan Rp 75/KgCO2e

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Misbakhun mengatakan, pihaknya memahami pentingnya reformasi perpajakan untuk mendukung konsolidasi fiskal pada 2023. Namun, ia mengingatkan masyarakat saat ini masih mengalami kesulitan akibat Pandemi Covid-19. Untuk itu, ia berharap, penerapan RUU KUP tak justru menjadi beban baru bagi masyarakat. 

"Reformasi perpajakan perlu dilakukan hati-hati, cermat, dan tidak tergesa-gesa. Harus memperhatikan dunia usaha dan upaya pemulihan ekonomi nasional," kata dia. 

Draf RUU KUP, menurut dia, juga perlu disempurnakan lebih lanjut dengan mempertimbangkan masukan berbagai pihak. "Ketentuan RUU ini perlu menghindari abusive tax collection dan tidak mengarah pada pemajakan yang bersifat eksesif," kata dia. 

Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo juga memberikan dukungan terhadap reformasi fiskal yang akan dilakukan pemerintah melalui RUU KUP. Namun, menurut dia, implementasi RUU ini memerlukan masa peralihan agar tak menganggu pemulihan ekonomi nasional. 

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...