Rencana PPN Sembako Premium untuk Dorong Situasi Berkeadilan
Jakarta- Lewat rencana pengenaan pajak pertambangan nilai (PPN) pada sembako premium, pemerintah sebenarnya tengah berupaya untuk menggenjot penerimaan negara dan sekaligus mendorong situasi yang lebih berkeadilan bagi masyarakat.
Dalam skema terbaru, rencananya barang kebutuhan pokok premium, yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah-atas, akan dikenai PPN. Sementara barang kebutuhan umum yang dikonsumsi masyarakat banyak tetap bebas dari PPN.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat pada Dirjen Pajak, Neilmaldrin Noor memastikan bahwa barang kebutuhan pokok non-premium tidak akan dikenai PPN.
Ia juga memastikan bahwa pemerintah tidak akan bertindak gegabah dalam memformulasikan peraturan baru tersebut. Faktor kemampuan membayar (ability to pay) tetap akan menjadi salah satu pertimbangan utama bagi pemerintah dalam hal ini.
Penjelasan lebih detail datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia menjelaskan beras lokal seperti beras jenis Rojolele, Pandan Wangi dan Cianjur, juga berbagai macam daging sapi lokal yang banyak dijual di berbagai pasar tradisional tidak akan dikenai PPN. Sebab bahan pokok tersebut memang bahyak dikonsumsi masyarakat banyak.
Akan tetapi, Sri Mulyani melanjutkan, berbeda dengan beras shirataki dan basmati. Selain harganya lebih mahal, juga hanya dikonsumsi oleh masyarakat kalangan atas. Oleh karena itu, kedua beras tersebut itu akan dikenai PPN.
Wakil Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia, Ngadiran, mendukung rencana pemerintah guna menerapkan PPN pada sembako premium.
“Kalau buat sembako premium boleh, dan memang harus. Tapi sembako yang dijual di pasar tradisional jangan,”ujarnya kepada Katadata.
Klarifikasi pemerintah ini diberikan menyusul adanya berbagai informasi tidak jelas yang menuding pemerintah hendak memasukan seluruh jenis bahan pokok dan berbagai jenis jasa, termasuk sekolah, sebagai objek pajak baru. Dinarasikan pemerintah semata-mata demi mengejar target penerimaan negara yang terus meleset.
Bahkan kemudian narasinya diperparah dengan membenturkan rencana pemberian PPN tersebut dengan kebijakan pemerintah dalam meringankan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) pada industri otomotif.
Neilmaldrin meminta masyarakat hendaknya tidak hanya melihat kepada siapa diskon PPnBM itu diberikan, tetapi alasan dibelakangnya. Selama pandemi, banyak kalangan berduit hanya menyimpan duitnya di bank dan tidak membelanjakannya. Lewat pemberian keringanan PPnBM, maka diharapkan akan dapat mendongkrak penjualan produk otomotif, baik mobil maupun motor.
Dengan demikian, pemerintah dapat tetap menjaga keberlangsungan industri otomotif, yang selama setahun belakangan ini lesu akibat dihantam cukup keras oleh pandemi.
Naiknya penjualan mobil akan kembali memicu bergeraknya roda perekonomian. Pada akhirnya akan menghindarkan industri otomotif untuk melakukan PHK terhadap karyawannya.
Adapun Lembaga pendidika yang akan dikenai PPN, kata Neil, hanya sekolah swasta premium. Hal itu bisa dilihat dari besaran iuran/uang sekolah yang dibebankan terhadap murid-muridnya.
Pemerintah, ujar Neil, telah mempunyai ambang atas dari besaran uang sekolah dan biaya lain yang dibayarkan murid kepada sekolah. Jika besarannya melampaui ambang batas tersebut, maka sekolah-sekolah tersebut bakal dikenai PPN.
“Sekolah-sekolah negeri, yang selama ini telah menggratiskan uang sekolahnya, tentu bukan sasaran dari kebijakan ini,” ujarnya sebagaimana dikutip dari kompas.com.
Penggratisan dari PPN, juga akan diterapkan pada sekolah-sekolah berbasis nirlaba atau sekolah yang melakukan subsidi silang dan berbasis misi sosial.
Ditjen Pajak juga telah berupaya melakukan klarifikasi terhadap berbagai tudingan yang banyak beredar di tengah masyarakat dengan mengirimkan email secara serentak kepada 13 juta wajib pajak.
Selain itu, berbagai cara juga telah dilakukan, diantaranya dengan secara proaktif menjawab melalui sosial media dan melalui webinar yang berisi sosialisasi program dan rencana pemerintah dalam sektor perpajakan.
Rencana pemberian PPN terhadap sembako premium dan berbagai jasa telah tercantum dalam dalam draft Revisi Kelima UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).