Surplus Neraca Perdagangan Diramal Berlanjut Efek Krisis Energi
Surplus neraca perdagangan diperkirakan berlanjut pada September setelah berhasil mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada Agustus 2021 mencapai US$ 4,74 miliar. Hal ini seiring permintaan ekspor dan harga komoditas yang masih tinggi akibat krisis energi yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet memperkirakan neraca dagang akan kembali surplus. Ia bahkan memperkirakan nilainya akan lebih besar dari bulan sebelumnya di kisaran US$ 4,8 miliar-US$ 5 miliar. Surplus dipengaruhi kenaikan harga komoditas dalam beberapa bulan terakhir.
"Meskipun ada peluang impor juga akan meningkat pada bulan September, tetapi kenaikan ini masih bisa dikompensasi kenaikan volume dan juga nilai ekspor," kata Rendy kepada Katadata.co.id, Kamis (14/10).
Rendy menilai kenaikan harga komoditas ekspor terutama pada batu bara. Kenaikan ini terutama didorong adanya krisis energi yang terjadi sejak bulan lalu, terutama di Eropa yang kemudian ikut merembet ke beberapa negara Asia termasuk Cina dan India.
"Ada semacam 'blessing in disguisse' dari krisis energi ini karena Indonesia mengambil keuntungan dari peningkatan harga komoditas dan peningkatan permintaan harga komoditas utama," kata Rendy.
Dari sisi impor, Rendy melihat nilai dan volumenya juga akan naik seiring membaiknya kinerja manufaktur dalam negeri. IHS Markit mencatat kinerja Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur bulan lalu kembali ekspansi dengan indeks 52,2. Kinerja manufaktur berhasil membalik setelah dua bulan berturut-turut berada di zona kontraksi.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memperkirakan neraca dagang pada September akan kembali surplus tetapi lebih kecil dibandingkan Agustus, yakni mencapai US$ 3,89 miliar.
Josua mengatakan, surplus lebih kecil lantaran peningkatan ekspor hanya akan terjadi di beberapa negara saja. Kenaikan ekspor terutama akan terjadi untuk tujuan Cina dan India, sedangkan ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang berpeluang turun. Hal ini dipengaruhi kinerja manufaktur di tiga kawasan tersebut yang tidak begitu memuaskan.
PMI Manufaktur AS bulan lalu melambat dibandingkan Agustus 61,1 menjadi 60,7 pada September. PMI manufaktur zona euro juga melambat dari 61,4 menjadi 58,6, kemudian Jepang turun dari 52,7 menjadi 51,5.
Josua memperkirakan ekspor pada September akan tumbuh 51,57% secara tahunan Kinerja ekpsor diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas manufaktur Cina dan India. PMI Manufaktur Cina pada September berbalik ke zona ekspansi dengan indeks 50 setelah bulan sebelumnya 49,2. India juga naik dari 52,3 menjadi 53,7.
Selain itu, ia juga melihat secara nilai, ekspor juga akan naik seiring harga sejumlah komoditas yang meroket. "Secara umum, kinerja ekspor pada bulan September tetap solid dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas ekspor yakni batubara dan CPO masing-masing secara bulanan naik 9,5% dan 3,46%," kata Josua kepada Katadata.co.id.
Peningkatan kinerja ekspor juga terpengaruh positif dari adanya krisis energi di sejumlah negara. Kendati demikian, Josua juga memperingatkan bahwa permintaan beberapa komoditas mungkin akan terdampak karena merupakan intermediate goods.
Krisis energi menurutnya mengganggu aktivitas produksi di sejumlah negara, sehingga efeknya adalah pada penurunan permintaan beberapa komoditas, salah satunya feronikel. Komoditas ini merupakan salah satu komoditas ekspor andalan RI ke Cina, tetapi krisis energi berpotensi menurunkan permintaannya.
Sementara dari sisi impor juga diperkirakan akan menguat 49,2% secara yoy. Kenaikan terutama dudorong impor bahan baku dan barang modal. Seperti halnya Rendy, ia juga melihat peningkatan impor didorong membaiknya sektor manufaktur.