Lonjakan Inflasi Global Memicu Modal Asing Kabur Rp 4 T dari Pasar SBN
Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing keluar deras dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) di tengah tekanan inflasi yang menghantui sebagian besar negara dunia. Nilai modal asing keluar dari pasar surat utang pemerintah mencapai Rp 4,32 triliun dalam sepekan terakhir.
Direktur Kepala Grup Departemen Komunikasi BI Muhamad Nur melaporkan secara keseluruhan tedapat modal asing keluar sebesar Rp 780 miliar dari pasar keuangan domestik sepanjang 25-28 Oktober 2021. Ini terdiri atas jual neto di pasar SBN sebesar Rp 4,32 triliun, tetapi beli neto di pasar saham Rp 3,54 triliun.
"Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun 2021 hingga 28 Oktober, terdapat nonresiden beli neto Rp 8,91 triliun," kata Nur dalam keterangan resminya, Jumat (29/10).
BI juga melaporkan tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun per 28 Oktober turun ke level 79,28 bps dari 81,87 bps pada 22 Oktober. Imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun terpantau turun ke level 6,14% pada 29 Oktober, bersama dengan penurunan yield US Treasury tenor 10 tahun ke level 1,58% pada 28 Oktober.
Kaburnya modal asing di pasar SBN membuat rupiah makin keok terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 14.168 per dolar AS pada perdagangan sore ini. Rupiah melemah 0,32% sepekan terakhir dari posisi pekan lalu Rp 14.123 per dolar AS. Tekanan inflasi mendorong pasar menahan diri untuk masuk ke aset berisiko termasuk rupiah.
Inflasi global yang memanas menjadi sentimen negatif dalam sepekan terakhir. Kenaikan harga-harga yang dipicu masalah rantai pasok dan diperparah oleh krisis energi ini turut mendorong banyak bank sentral negara-negara dunia mulai memperketat kebijakan moneternya.
Bank sentral AS, The Federal Reserve berencana memulai tapering off berupa pengurangan pembelian aset paling cepat pertengahan November atau Desember, dan mengakhirinya pada paruh kedua 2022. Rencana ini kabarnya akan diumumkan pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan depan. Penantian pasar terhadap rapat ini juga memberi koreksi pada kurs garuda.
Tekanan inflasi mendorong pasar memperkirakan The Fed memulai kenaikan suku bunga mulai tahun depan. Survei FedWatch oleh CME menunjukkan pasar juga memperkirakan bank sentral akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun depan.
Selain The Fed, Bank sentral Inggris (BOE) juga mulai bersiap menaikkan bunga dalam waktu dekat akibat tekanan inflasi. Bank sentral Kanada kabarnya juga akan menaikkan suku bunga paling cepat kuartal II 2022.
Beberapa bank sentral lainnya sudah mulai mengakhir kebijakan moneter longgar. Bank sentral Selandia Baru awal bulan ini menaikkan suku bunganya 25 basis poin (bps) akibat tekanan inflasi. Ini menandai kenaikan suku bunga pertamanya dalam tujuh tahun terakhir. Langkah serupa lebih dulu dilakukan bank sentral Korea Selatan pada Agustus lalu.
Bank of Korea juga menaikkan suku bunga 25 bps menjadi 0,75% akibat tekanan inflasi.Bank sentral Singapura kemudian menyusul pada pekan lalu. Brasil bahkan telah enam kali menaikkan suku bunganya sepanjang tahun ini. Keputusan terbaru bank sentral negara itu menaikkan suku bunganya sebanyak 150 bps menjadi 7,75%, mencapai level tertingginya dalam 20 tahun terakhir.
Kendala rantai pasok yang tak kunjung tertangani tak hanya berdampak pada inflasi tetapi turut mempengaruhi kinerja sejumlah emiten teknologi. Dua raksasa teknologi AS, Apple dan Amazon melaporkan kinerja kuartal III yang tidak memuaskan akibat kendala di sisi produksi dan distribusi.
Apple melaporkan pendapatan sebesar US$ 83,36 miliar, di bawah perkiraan Refinitiv sebesar US$ 84,85 miliar. "Kendala pasokan didorong oleh kekurangan chip di seluruh industri yang telah banyak dibicarakan, dan gangguan manufaktur akibat Covid-19 di Asia Tenggara,” kata CEO Apple Tim Cook seperti dikutip dari CNBC International, Kamis (28/10).
Kemudian Amazon melaporkan sebesar US$ 110,81 miliar, di bawah ekspektasi US$ 111,6 miliar. Masalah distribusi akibat penutupan pelabuhan dan kelangkaan tenaga kerja menjadi kendala utama perusahaan.
Kinerja kurang memuaskan dua emiten tersebut menimbulkan koreksi terhadap rupiah setelah awal pekan ini sempat menghijau. Penguatan terbatas nilai tukar pada Senin (26/10) tampaknya dipengaruhi laporan emiten teknologi lainnya yang cukup memuaskan pada pekan lalu.
Raksasa produsen mobil listrik Tesla sebelumnya juga melaporkan pendapatan yang memuaskan. Perusahaan mengantongi pendapatan US$ 13,76 miliar atau Rp 194 triliun, di atas perkiraan pasar US$ 13,63 miliar atau Rp 192 triliun.
Netflix pada pekan lalu juga melaporkan pendapatan US$ 7,48 miliar atau Rp 105 triliun, tepat pada target yang diperkirakan pasar. Perusahaan juga melaporkan adanya penambahan 4,4 juta pelanggan baru sepanjang Juli-September, ini lebih tinggi dari ekspektasi 3,84 juta pelanggan baru.