Cerita Sri Mulyani soal Dilema Kenaikan Cukai Rokok
Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun ini rata-rata 12%. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan dilema di balik keputusan tersebut, yakni pertimbangan antara kesehatan dan ekonomi.
Bendahara negara ini muncul dalam perbincangannya dengan youtuber Deddy Corbuzier. Dalam obrolan tersebut, Sri Mulyani bercerita tentang pertimbangannya menaikkan cukai rokok tahun ini yang sempat menuai pro kontra.
"Kenaikan cukai rokok adalah kebijakan yang rumit banget, ini dilema klasik atau bahkan trilema," kata Sri Mulyani dikutip dari podcast Deddy Corbuzier dikutip Kamis, (6/1).
Ia mengatakan, kenaikan cukai rokok menjadi pilihan yang sulit karena dihadapkan pada dua pilihan, yakni pertimbangan kesehatan atau dukungan bagi industri rokok. Dari sisi kesehatan, advokasi dari komunitas kesehatan tentu mendesak pemerintah menaikkan cukai sebesar mungkin untuk menekan prevalensi merokok. Hal ini karena sejumlah kajian menunjukkan terdapat sejumlah penyakit yang timbul dari konsumsi rokok.
Berdasarkan riset PKJS-UI tahun 2018, keluarga perokok berisiko memiliki anak stunting 5,5% lebih tinggi dibandingkan yang tidak merokok. Studi juga menunjukkan perokok 14 kali lebih berisiko terinfeksi Covid-19.
"Banyak sekali orang-orang dari komunitas kesehatan, mereka advokasi bahwa cukai rokok harus setinggi-tingginya karena mereka menganggap orang sakit yang disebabkan rokok itu menjadi ongkos ekonomi dan keluarga yang besar banget," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9-27,7 triliun setahun. Dari total biaya ini, terdapat Rp 10,5 triliun hingga Rp 15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS kesehatan. Jumlah tersebut mencakup 20-30% dari subsidi PBI JKN yang dikeluarkan pemerintah per tahun.
Namun di sisi lain, kelompok industri menolak kenaikan tarif cukai dikarenakan pertimbangan bawah industri rokok mempekerjakan banyak petani, terutama pada usaha rokok linting. Selain itu, kenaikan cukai yang mendorong kenaikan harga jual rokok yang dapat membuka peluang semakin meluasnya rokok ilegal.
Dengan berbagai dilema tersebut, ia mengakui sudah sangat sering ditegur berbagai pihak terkait kebijakan tarif cukai tersebut. "Saya selalu dimarahin berbagai pihak, kalau saya naikkan kekecilan orang-orang kesehatan marah-marah, mereka bilang Menkeu pasti dilobi industri rokok. Tapi kalau ketinggian disininya (industri) marah, mereka bilang Menkeu itu dilobi sama orang-orang kesehatan apalagi sama dunia internasional. Jadi saya selalu diisukan macem-macam," kata Sri Mulyani.
Oleh karena itu, pihaknya kini berusaha main 'cantik' dengan menaikkan tarif cukai dengan besaran berbeda-beda untuk kategori produksi rokok. Selain itu, ia mengatakan kenaikan cukai rokok rata-rata 12% tahun ini juga dilakukan dengan berbagai permodelan, terutama memperhitungan besaran dampak dari setiap kenaikan 1% tarif cukai.
"Tapi rokok yang lintingan yang mempekerjakan banyak buruh termasuk pekerja perempuan, itu kenaikannya di bawah 5%. Jadi yang naik di atas 10% itu industri yang pakai mesin dan tembakaunya impor, itu cara kita main cantik," kata Sri Mulyani.
Adapun kenaikan tarif cukai mulai dari 2,5% hingga 14,4%. Adapun rinciannya sebagai berikut,
1. Sigaret Putih Mesin (SPM)
- SPM I kenaikan 13,9%
- SPM II A kenaikan 12,4%
- SPM II B kenaikan 14,4%2.
2. Sigaret Kretek Mesin (SKM)
- SKM 1 kenaikan 13,9%
- SKM II A kenaikan 12,1%
- SKM II B kenaikan 14,3%
3 Sigaret Kretek Tangan (SKT)
- SKT I A kenaikan 3,5%
- SKT I B kenaikan 4,5%
- SKT II kenaikan 2,5%
- SKT III kenaikan 4,5%