Bank Dunia: Indonesia Lebih Tangguh Hadapi Efek Perang Rusia - Ukraina
Bank Dunia menilai perekonomian Indonesia lebih tangguh dalam menghadapi dampak dari perang Rusia dan Ukraina dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya. Ekonomi Indonesia diramal tumbuh 5,1% pada tahun ini.
Menurut Bank Dunia, gejolak baru yang diciptakan perang di Ukraina mengganggu pasokan komoditas, meningkatkan tekanan keuangan, dan menghambat pertumbuhan global. Risiko semakin meningkat karena perang terjadi tidak hanya di tengah pandemi, tetapi juga saat terjadinya dua perkembangan lainnya, yakni inflasi tinggi di Amerika Serikat dan perlambatan struktural di Cina.
"Namun, negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia dan Malaysia, dapat meredam kenaikan harga internasional dengan lebih mudah daripada negara-negara pengimpor komoditas, seperti Fiji dan Thailand," kata Bank Dunia dalam laporannya, Senin (5/4).
Bank Dunia melihat guncangan akibat perang akan memberikan dampak besar untuk perekonomian kawasan Asia Timur dan Pasific. Meski ketergantungan langsung kawasan ini pada Rusia dan Ukraina melalui impor dan ekspor barang, jasa dan modal memang masih terbatas, perang dan sanksi-sanksinya kemungkinan akan menaikkan harga pangan dan bahan bakar di skala internasional.
Lembaga ini memperkirakan penduduk miskin di Filipina dapat meningkat 1,1 juta jiwa jika harga gandum naik sebesar rata-rata 10%. Pendapatan riil nasional importer komoditas, seperti Kamboja dan Thailand dapat berkurang sebanyak 0,7% jika harga bahan bakar naik sebesar rata-rata 10%.
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik dari 5,4% menjadi 5% sebagai dampak dari risiko perang Rusia Ukraina, perlambatan Cina, dan inflasi tinggi di AS. Pada skenario terburuk, ekonomi kawasan diperkirakan hanya akan tumbuh 4%. Adapun, perhitungan skenario terburuk itu bergantung jika kondisi global memburuk dan kebijakan nasional masing-masing negara dalam merespon hal tersebut kurang solid.
Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dipangkas dari 5,2% menjadi 5,1%, dengan skenario pertumbuhan terburuk sebesar 4,6%. Pemangkasan prospek pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia masih lebih baik dibandingkan Malaysia yang dipangkas 0.3%, Thailand 0,7%, dan Vietnam 1,2%.
Perang Rusia dan Ukraina justru menimbulkan efek windfall atau 'durian runtuh' pada penerimaan Indonesia. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara pada Februari 2022 naik 37,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 302,4 triliun. Kenaikan penerimaan negara terutama ditopang oleh melambungnya harga komoditas sebagai efek dari perang Rusia-Ukraina.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, penerimaan pajak naik 36,5% menjadi Rp 199,4 triliun, kepabeanan dan cukai melesat 59,3% menjadi Rp 56,7 triliun, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terdongkrak 22,5% menjadi Rp 46,2 triliun.
"Kinerja penerimaan negara menggambarkan pemulihan ekonomi yang menggeliat cukup kuat di seluruh sektor. Lonjakan harga komoditas juga memberikan kontribusi besar pada kenaikan pendapatan negara," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi Maret, Senin (28/3).
Penerimaan negara yang melesat juga memberikan dampak positif pada kinerja APBN secara keseluruhan yang mencetak surplus mencapai Rp 28,9 triliun. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan Februari 2021 yang mencatatkan defisit anggaran Rp 63,3 triliun.