Bank DBS Prediksi Implikasi Konflik Rusia-Ukraina pada Indonesia
Konflik Rusia-Ukraina telah berlangsung selama empat minggu. Perang kedua negara tersebut sudah memberi dampak geopolitik ke seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia, yang secara geografis, terpisah jauh dari lokasi konflik.
Meskipun terjadi konflik, Indonesia berhasil mempertahankan stabilitas perekonomian. Hal itu terlihat dari inflasi dan rupiah yang masih stabil. Bank Indonesia mampu mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,5 persen.
Proyeksi pertumbuhan Indonesia pun masih tetap terjaga pada kisaran 4,7-5,5 persen, didukung oleh permintaan domestik yang semakin membaik dan menguatnya ekspor.
Dari sisi inflasi, Bank Indonesia menyadari bahwa pengendalian harga dan subsidi membatasi adanya fenomena spillover terhadap kondisi energi global. Pada 2020, inflasi ditargetkan sebesar 2-4 persen.
Meski demikian, Indonesia tetap perlu mengantisipasi sejumlah implikasi ketidakstabilan ekonomi global akibat konflik Rusia-Ukraina.
Ekonom Senior Bank DBS Radhika Rao, melalui laporan bertajuk “DBS Flash: Bank Indonesia to Stay Patient, Watching Inflation”, mengatakan konflik Rusia-Ukraina telah mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia.
“Implikasi secara langsungnya adalah hubungan dagang Indonesia dengan Ukraina dan Rusia,” katanya.
Meski terbilang kecil, nilainya kurang dari US$ 3 miliar dan impor 1 persen dari total pembelian, impor sejumlah sektor akan tersendat.
Sektor terdampak salah satunya impor gandum dari Ukraina, yang menyumbang seperempat aktivitas impor biji-bijian tanah air, serta pupuk dari Rusia.
Selain itu, terdapat aktivitas perdagangan sektor lain seperti besi setengah jadi, batu bara, minyak bumi olahan, dan lainnya.
Sementara, kenaikan harga minyak bersih global akan mempengaruhi kondisi harga domestik secara tidak langsung.
Sebagai importir minyak bersih, Indonesia akan mendapat tekanan untuk menyesuaikan harga bahan bakar dan tarif listrik dalam negeri.
Adapun bauran penyediaan energi primer pada 2019 terdiri dari 35 persen minyak bumi, 37 persen batu bara, 18,5 persen gas, dan lainnya.
Secara bersamaan, kenaikan tajam harga gandum global telah mempengaruhi peningkatan biaya impor dalam industri makanan seperti sereal atau roti serta produk makanan berbasis biji-bijian selain kedelai, minyak goreng, dan pupuk.
“Adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen juga merupakan risiko yang perlu dipantau,” kata Radhika.
Kekuatiran bahwa peningkatan harga di sektor energi dan makanan dapat mendorong inflasi, juga menjadi potensi risiko pada tahun ini.
Oleh karena itu, Bank DBS mempertahankan perkiraan 3 persen yoy pada 2022 dengan risiko kenaikan 50-70 basis point terhadap penyesuaian harga.
Selain itu, adanya neraca negatif pada sektor migas akan diimbangi dengan fenomena meningkatnya keuntungan dagang yang kuat dari sektor nonmigas seperti batu bara, sawit, dan logam.
Sebagai contoh, pada Februari 2022, surplus non-migas hampir mencapai dua kali lipat, sebesar US$ 5,7 miliar, jika dibandingkan sebelumnya sekitar US$ 2,3 miliar.
Hal ini disebabkan penjualan batu bara secara berkelompok dan memanfaatkan pengaruh harga dari komoditas lain yang dapat diperdagangkan.
Namun, peningkatan ekspor tetap akan diselingi oleh perubahan kebijakan dalam negeri seperti langkah-langkah sementara untuk memastikan kecukupan stok komoditas utama dalam negeri, termasuk batu bara dan minyak sawit.
Berbagai strategi ini dilakukan untuk menghadapi lonjakan harga internasional.
Terakhir, sisi fiskal menghadapi tarikan dua arah dari harga komoditas yang lebih tinggi.
Terdapat pendapatan yang lebih tinggi dari SDA (Sumber Daya Alam), tapi diimbangi oleh kebutuhan akan dukungan harga dan subsidi energi.
Pendapatan dari SDA meningkat 55 persen yoy pada 2021. Artinya, menyumbang sepertiga dari penerimaan non-pajak.
Melihat beragam implikasi tersebut, Bank DBS menilai kenaikan harga komoditas pasca disrupsi geopolitik menjadi faktor penarik bagi neraca perdagangan eksternal Indonesia.
Hal ini, tentunya akan memperkuat ketahanan ekonomi di tengah pergeseran kebijakan global.
“Kami memperkirakan dampak inflasi akan diimbangi oleh intervensi domestik dan BI yang akan menormalkan kebijakan, meski pada kecepatan yang lebih lambat,” katanya.
Bank DBS juga memproyeksikan bahwa Bank Indonesia akan menahan diri untuk membuat kebijakan hingga tengah tahun ini. Sebab, ada kemungkinan risiko material terhadap inflasi yang akan muncul karena penyesuaian harga.
Suku bunga acuan diperkirakan berada di 4,7 persen pada akhir tahun. Untuk nilai tukar rupiah ke dolar AS, diprediksi melewati Rp 14.600 sebelum stabil pada tahun depan.