Inflasi di Inggris Tembus 10%, Konsumen Rumah Tangga Semakin Tertekan

Aryo Widhy Wicaksono
17 Agustus 2022, 19:32
Toby Melville Matahari terbit di belakang gedung pencakar langit dan kantor-kantor distrik keuangan kota London di London, Britain, Kamis (5/5/2022).
ANTARA FOTO/REUTERS/Toby Melville/hp/cf
Toby Melville Matahari terbit di belakang gedung pencakar langit dan kantor-kantor distrik keuangan kota London di London, Britain, Kamis (5/5/2022).

Inflasi harga barang di Inggris melonjak 10,1% pada Juli. Angka ini mencatatkan rekor tertinggi sejak Februari 1982, dan naik dari tingkat inflasi tahunan yang mencapai 9,4% pada Juni lalu.

Tingkat inflasi ini semakin memberikan tekanan kepada sektor rumah tangga. Kenaikan ini juga berada di atas perkiraan para ekonom dalam jajak pendapat Reuters, yang menyimpulkan inflasi naik menjadi 9,8% pada Juli, dan tidak akan meredakan kekhawatiran Bank of England, bahwa tekanan harga akan semakin dalam.

Meskipun memperingatkan mengenai potensi terjadinya resesi, Bank of England awal bulan ini menaikkan suku bunga utamanya sebesar 0,5%, sehingga menjadi 1,75%. Kenaikan ini menjadi setengah poin pertama sejak 1995.

Bank tersebut memperkirakan inflasi akan mencapai puncaknya pada angka 13,3% Oktober mendatang.

"Setiap kejutan kenaikan inflasi mempererat cengkraman yang dialami Bank of England, dengan meningkatnya tekanan inflasi dikombinasikan dengan meningkatnya resesi," kata ekonom senior di manajemen aset di manajer aset abrdn, Luke Bartholomew, Rabu (17/8) seperti dikutip dari Reuters.

Bartholomew seperti umumnya ekonom dalam jajak pendapat Reuters awal pekan ini, memperkirakan Bank of England akan menaikkan suku bunga setengah poin lagi, sehingga menjadi 2,25% pada pertemuan berikutnya September nanti.

Menyitir laporan The Guardian, Kantor Statistik Nasional (ONS) mengatakan kenaikan harga terlihat cukup jelas hampir pada seluruh sektor. ONS membagi indeks harga konsumen menjadi 12 kategori terpisah, dan sembilan di antaranya mencatatkan inflasi telah terjadi sejak bulan lalu.

Harga pangan naik cukup signifikan, kemudian terdapat juga kenaikan pada pakaian dan alas kaki, restoran dan hotel, serta tempat rekreasi dan budaya.

Namun indikator kabar buruk yang lebih jelas adalah harga barang yang keluar dari gerbang pabrik, mengalami kenaikan lebih dari 17% di tahun ini hingga Juli, tingkat tertinggi dalam 45 tahun terakhir.

Bank of England telah menggali di bawah angka indeks harga konsumen utama untuk melihat ukuran inflasi inti. Di sini mereka pun menemukan kabar buruk. Inflasi tidak termasuk makanan, bahan bakar, alkohol dan tembakau, mencapai 6,2% pada Juli, naik dari 5,8% di Juni.

Tingkat inflasi untuk jasa, yang memberikan petunjuk tentang tekanan harga yang dihasilkan di dalam negeri, dibandingkan dengan kekuatan global adalah 5,7% di Juli dibandingkan dengan 5,2% pada bulan sebelumnya.

Kondisi ini memberikan tekanan yang besar terhadap konsumen di Inggris. Berdasarkan laporan pasar tenaga kerja pada Selasa lalu, menemukan bahwa gaji naik 4,7% antara April dan Juni, seperti dikutip dari CNN.

Hal ini berarti pendapatan masyarakat rata-rata turun 3% selama periode setelah memperhitungkan inflasi. Ini juga menjadi penurunan terbesar dalam upah riil sejak ONS mulai melakukan pencatatan lebih dari 20 tahun lalu.

"Situasinya menyedihkan bagi konsumen Inggris, yang saat ini ditekan dari semua sisi," tulis ekonom senior di Berenberg, Kallum Pickering, dalam sebuah catatan kepada klien, Rabu (17/8).

"Upah tidak naik cukup cepat untuk mengimbangi lonjakan inflasi, tetapi mereka naik terlalu cepat untuk disukai [Bank of England], karena ingin mengembalikan inflasi ke target," tambahnya.

Inflasi diperkirakan akan lebih tinggi lagi menjelang akhir tahun ini, didorong kenaikan lebih lanjut dalam tagihan energi yang diatur pada Oktober nanti. Harga listrik telah naik sebesar 54% dan harga gas sebesar 95,7% dalam 12 bulan terakhir hingga Juli 2022, akibat biaya grosir yang meroket, dan diperburuk dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari.

Pejabat pemerintah Inggris dilaporkan sedang memeriksa opsi untuk memberikan lebih banyak dukungan kepada rumah tangga. Tetapi Liz Truss, pejabat yang digadang-gadang akan menggantikan Boris Johnson sebagai perdana menteri Inggris berikutnya pada awal September ini, belum menetapkan rencana secara rinci selain adanya pemotongan pajak.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...