BI Intervensi Pasar, Rupiah Mulai Menguat
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah, hingga nyaris ke level psikologis 16.000 Senin (23/10) kemarin. Namun, hingga pukul 14.10 hari ini, Selasa (24/10), rupiah menguat 0,51% ke level 15.851.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengatakan bank sentral telah merespons kondisi pelemahan rupiah dengan terus mengawal masuk ke pasar atau melalui intervensi, baik ke pasar spot maupun pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
"Ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valas di pasar tetap terjaga. Dengan demikian, BI dapat memastikan keyakinan pasar tetap terjaga," ujar Edi kepada Katadata.co.id, Selasa (24/10).
Edi menjelaskan pelemahan mata uang terjadi akibat faktor eksternal. Dalam hal ini, dolar AS menguat terhadap hampir semua mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut Edi, sentimen negatif berasal dari kondisi ekonomi global, termasuk isu geopolitik yang kurang kondusif, seperti ketegangan yang terjadi antara Israel dan Hamas. Pelemahan mata uang yang terjadi di sejumlah negara merupakan dampak dari proses penyesuaian atas peristiwa yang terjadi di dunia.
“Tentu dalam menghadapi proses penyesuaian tersebut BI merespon baik melalui kenaikan suku bunga kebijakan,” kata Edi.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI Firman Mochtar dalam BNI Investor Daily Summit mengatakan terdapat lima kondisi ekonomi global yang perlu dicermati.
Pertama, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan menurun dan diikuti oleh divergensi yang melebar. Kondisi ekonomi AS cenderung membaik, sedangkan ekonomi Cina terus menurun.
Kedua, eskalasi geopolitik meningkat, tercermin dari munculnya konflik antara Israel dan Hamas yang mendorong kenaikan harga minyak yang cukup tinggi. Hal ini diikuti dengan kondisi harga pangan yang ikut meningkat.
“Kondisi kenaikan harga dua komoditas yang cukup strategis ini bisa berpengaruh nanti ke ekonomi domestik,” kata Firman, Selasa (24/10).
Ketiga, tren kebijakan moneter negara maju, khususnya AS, diperkirakan masih akan tinggi, setidaknya sampai dengan semester pertama tahun depan.
Menurut Firman, jika kondisi defisit fiskal AS membengkak, maka akan membutuhkan utang dari obligasi negara lebih banyak. Hal ini akan meningkatkan imbal hasil obligasi negara AS.
“Keempat, faktor ini pada gilirannya memicu bagaimana risiko investor yang mulai mengalihkan dananya akibat perbedaan suku bunga. Semakin meningkatkan eskalasi bukan hanya ke safe haven negara- negara seperti AS, tapi juga aset berubah lebih banyak ke liquid,” kata Firman.
Faktor kelima, munculnya fenomena cash is king atau uang tunai adalah raja. Ini mencerminkan keyakinan masyarakat jika uang tunai lebih berharga ketimbang aset investasi lainnya. Hal ini mengakibatkan kurs dolar akan kian menguat.
“Jadi pelemahan yang terjadi bukan di Indonesia saja tapi hampir di seluruh dunia mengalami depresiasi yang cukup besar,” kata Firman.