Perekonomian Cina Melemah, Sri Mulyani Soroti Performa Neraca Dagang
Neraca perdagangan nasional telah surplus selama 41 bulan berturut-turut. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap mencermati pelemahan performa ekspor akibat melambatnya perekonomian Cina.
Ia mengimbau pemangku kepentingan untuk mewaspadai pelemahan perekonomian Negeri Panda. Performa ekspor telah tumbuh negatif secara tahunan pada September 2023 hingga 16,2%.
"Meskipun performa impor juga terkontraksi 12,5%, faktor eksternal yang lemah dan volatil harus kita waspadai," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (25/10).
Selain itu, Sri Mulyani menemukan pelemahan perekonomian Tiongkok telah berdampak pada neraca dagang. Nilai surplus dalam neraca tersebut pada Januari hingga September 2023 lebih rendah US$ 12 miliar secara tahunan.
Secara rinci, nilai neraca perdagangan sepanjang Januari hingga September 2023 mencapai US$ 27,75 miliar. Angka tersebut lebih rendah 30,36% dari capaian periode yang sama tahun lalu senilai US$ 39,85 miliar.
Perlambatan perekonomian Cina, menurut Bendahara Negara itu, juga menjadi tantangan bagi pelaku usaha di sana. Industri properti Tiongkok mengalami masalah yang cukup serius. Setidaknya 50 perusahaan mengalami kesulitan finansial hingga harus gulung tikar.
"Ini akan mempengaruhi Indonesia karena perekonomian Cina, sebagai ekonomi terbesar kedua dunia, jadi motor pertumbuhan ekspor banyak negara, termasuk kita," katanya.
Tak hanya Cina, Bendahara Negara juga meminta seluruh pihak untuk waspada terhadap gejolak ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan kawasan Eropa.
AS kini mengalami gejolak di pasar obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pada September dan Oktober. Imbal hasil obligasi pemerintah AS melonjak sampai 5% untuk pertama kali sejak 2007.
Lonjakan itu akibat aksi bank sentral AS, Federal Reserves menaikkan suku bunga pada Maret 2022 hingga Juli 2023 karena tingginya inflasi. The Fed telah mengerek suku bunga acuannya sebesar 525 basis poin menjadi 5,25%-5,50%. Padahal biasanya suku bunga negara itu tercatat rendah sejak krisis keuangan global 2008 lalu.
Tantangan juga berasal dari gejolak politik internal di AS terkait kepemimpinan kongres yang kosong. Menurut Sri Mulyani, kepemimpinan ini juga akan mempengaruhi kecepatan putusan legislasi dan pemerintahan di AS dalam merespons masalah-masalahnya.