Curhat Menkeu dalam Hadapi Gejolak Harga Komoditas dan Tekanan Fiskal
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pendapatan negara pernah turun tajam akibat gejolak harga harga komoditas global pada 2015 dan 20216. Saat itu, pendapatan negara di bawah target dan turun masing-masing sebesar Rp 286 triliun pada 2015 serta Rp 267 triliun pada 2016.
Jatuh bangunnya harga komoditas tersebut menyebabkan dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. “Pada saat harga tinggi, memacu pertumbuhan melalui permintaan eksternal (ekspor) maupun permintaan domestik. Sementara ketika harga jatuh, pertumbuhan ekonomi dan posisi fiskal mengalami tekanan,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, pada Senin (20/5).
Akibat perubahan harga komoditas yang drastis, Sri mencatat pendapatan negara pada 2015 dan 2016 berada di bawah target. "Realisasi pendapatan negara jauh di bawah target dengan gap Rp 286 triliun atau mencapai 2,5% PDB pada 2015, dan Rp 267 triliun atau 2,1% pada tahun 2016," ujarnya.
Guna mengatasi tekanan fiskal tersebut, pemerintah kala itu melakukan pengendalian belanja, terutama pada tahun 2016 yang mencapai Rp 231 triliun atau 1,9% PDB sehingga defisit terkendali pada level 2,5% PDB.
Terkait volatilitas harga komoditas, Sri menyebut harga minyak mentah (Brent) pernah naik di level US$ 115 per barel pada Juni 2014, atau turun tajam ke titik terendah US$ 28 per barel pada Januari 2016.
Jatuhnya harga komoditas juga kembali terjadi saat pandemi Covid-19. Pada April 2020 lalu, harga minyak jatuh lagi ke level terendah US$ 23 per barel akibat perang di Ukraina. Sehingga harga minyak melonjak tinggi ke level US$ 120 per barel pada Juni 2022.
“Di tahun 2023, harga minyak turun tajam menjadi US$ 65 per barel, kemudian naik kembali menjadi US$ 90 per barel di awal 2024 akibat perang di Gaza, Palestina,” ucapnya.
Tidak hanya minyak, dia juga turut menyebut pergerakan harga komoditas lain seperti batu bara dan minyak sawit (CPO). Harga batu bara pernah mencapai puncaknya US$ 430 per ton pada September 2022 dan turun tajam ke level US$ 127 per ton pada November 2023.
Sementara harga CPO juga pernah mencapai level terendah US$ 544 per ton pada Juli 2019, namun melambung tinggi hingga US$ 1.800 per ton pada Maret 2022, kemudian turun kembali menjadi US$ 804 per ton pada Oktober 2023.
Dia bilang, masa-masa sulit tersebut menunjukkan bahwa Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) sering dihadapkan pada faktor-faktor di luar kontrol, yang mengharuskan perubahan dan manuver kebijakan. Tentu dengan tetap menjaga keseimbangan antara mempertahankan momentum pertumbuhan, stabilitas ekonomi serta sustainabilitas fiskal.
“Kebijakan Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal yang prudent dan kredibel harus terus dijaga agar efektif dan dipercaya pelaku pasar dan investor untuk menjaga kepentingan nasional bersama dan keberlanjutan pembangunan,” kata dia.