DBS Indonesia Beberkan Faktor yang Buat Pasar Keuangan RI Bergejolak
PT Bank DBS Indonesia membeberkan sejumlah faktor yang membuat pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bergejolak. Inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi dari perkiraan dan berkurangnya peluang penurunan suku bunga The Fed adalah beberapa faktor yang memengaruhi gejolak di pasar keuangan akhir-akhir ini.
Puneet Punj, Managing Director & Head of Global Financial Market Bank DBS Indonesia, mengungkapkan inflasi AS selama beberapa bulan terakhir menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) inti berada di kisaran 3,5-4% secara year to date (ytd). Hal ini berbeda dengan prospek awal tahun 2024 yang memperkirakan perlambatan ekonomi ringan dan penurunan inflasi menjadi 2%.
Pasar tenaga kerja AS juga kuat, rata-rata menciptakan 230.000 lapangan kerja baru setiap bulan. “Selain itu, kekayaan rumah tangga AS juga meningkat karena keuntungan di pasar ekuitas, kripto, dan real estat,” kata Puneet dalam keterangan resminya, Jumat (21/6).
Ia mengatakan hal itu membuat ekspektasi pasar berubah dari antisipasi enam kali penurunan suku bunga pada awal 2024 menjadi kurang dari dua kali penurunan untuk tahun ini. Hal itu menyebabkan selisih imbal hasil antara obligasi negara-negara berkembang dan obligasi pemerintah AS menyempit.
Puneet menyebut kondisi ini membuat arus modal di pasar negara berkembang dan pergerakan mata uang menjadi bergejolak sehingga mempengaruhi arus modal dan neraca pembayaran di banyak negara berkembang. Tren pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak awal tahun ini (year to date) sejalan dengan sebagian besar mata uang Asia. Ia juga menyebut arus masuk investasi asing (FDI) di Indonesia tetap stabil selama beberapa tahun terakhir.
SRBI akan Tarik Dana Asing ke Dalam Negeri
Komponen yang paling bergejolak adalah arus portofolio. Namun, peluncuran Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) akan menarik dana investor dari luar negeri ke instrumen ini. Alhasil, rupiah diharapkan lebih stabil.
Bank DBS Indonesia berharap SRBI dapat mengurangi perubahan tajam dalam arus portofolio pada tahun 2024. Pada akhir tahun 2024, Bank DBS Indonesia memperkirakan suku bunga Bank Indonesia (BI) akan berada di level 6,25%, Federal Funds Rate di 5%, nilai tukar rupiah di Rp 15.800 per dolar AS, dan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun sebesar 7%.
Untuk Indonesia, kata Puneet, inflasi yang rendah, imbal hasil riil yang menarik, mata uang yang relatif stabil, cadangan devisa yang cukup, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang kuat memberikan prospek yang positif. Meski demikian, Indonesia harus tetap waspada terhadap potensi penguatan lebih lanjut dari indeks dolar dan penurunan harga komoditas.
Secara keseluruhan, Puneet mengatakan masa depan ekonomi Indonesia menunjukkan optimisme yang perlu disertai dengan kehati-hatian. Peluang pertumbuhan dapat dicapai melalui kebijakan ekonomi yang stabil dan investasi berkelanjutan di sektor-sektor utama.
“Wawasan ini memberikan pemahaman yang kritis tentang prospek ekonomi, ekspektasi kebijakan, dan dinamika pasar yang mempengaruhi ekonomi global dan Indonesia,” tuturnya.