Waspada Nilai Tukar Rupiah Melambung ke Rp17.000 Imbas Tarif Resiprokal AS


Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperingatkan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat sebesar 32% terhadap Indonesia berpotensi menekan nilai tukar rupiah.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, memproyeksikan bahwa kebijakan Trmp tersebut akan semakin menekan nilai tukar rupiah yang berpotensi memicu inflasi. Ia menilai risiko utamanya yakni proyeksi nilai tukar rupiah yang saat ini ditetapkan sekitar Rp16.000 per dolar AS dalam kerangka ekonomi makro bisa kian melambung hingga melampaui Rp17.000.
Berdasarkan Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kini berada di Rp16.756,94 .
“Selain memberikan sentimen negatif terhadap sektor private, keuangan negara dan kebijakan fiskal juga akan mengalami tekanan karena sebagian utang dalam bentuk dolar,” kata Ajib ketika dihubungi Katadata.co.id, Kamis (3/4).
Ajib menilai ada empat langkah utama yang bisa dilakukan Indonesia untuk merespons kebijakan tarif AS. Pertama, berupaya menegosiasikan tarif dengan Amerika Serikat. Kedua, meningkatkan nilai tambah komoditas unggulan Indonesia.
Ketiga, memperluas pasar ekspor dengan menggandeng mitra di BRICS dan negara lain melalui kerja sama bilateral. Keempat, memperkuat ekonomi domestik, terutama di sektor pangan dan energi, sejalan dengan program utama Presiden Prabowo Subianto.
Di sisi lain, Ajib menilai kebijakan tarif baru AS justru dapat mempersempit lingkup sekutu ekonominya. Dalam skala ekonomi global, ia menilai hanya Cina dan Uni Eropa yang memiliki kapasitas untuk mengimbangi langkah AS serta menegosiasikan tarif secara langsung.
Sementara itu, Indonesia, yang menikmati surplus neraca dagang dengan AS, dihadapkan pada tantangan ekonomi yang semakin berat. Dengan daya tawar yang lebih rendah, potensi ekspor Indonesia ke pasar AS berisiko mengalami kontraksi.
“Surplus neraca dagang pada tahun 2024 sebesar US$16,84 miliar cenderung akan turun,” ujar Ajib.
Sejalan dengan itu, Head of Research NH Korindo Sekuritas, Ezaridho Ibnutama, mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara di Asia Tenggara dengan tarif tertinggi setelah Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Ia menyebut perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat cukup konsisten dalam dua tahun terakhir.
Pada Februari 2025, surplus perdagangan Indonesia tercatat sebesar US$3,12 miliar, didorong oleh penurunan impor domestik akibat meningkatnya tekanan sosial ekonomi. Namun, ia menyayangkan bahwa kebijakan tarif baru yang diterapkan Presiden AS Donald Trump berpotensi mengganggu surplus perdagangan Indonesia.
Sebagai eksportir terbesar kedua bagi Tanah Air, ia mengakui langkah AS dapat menyebabkan penurunan nilai ekspor dalam beberapa bulan ke depan jika tidak ada kesepakatan bilateral antara kedua negara.
Selain itu, negara mitra dagang lain diperkirakan tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran AS. Cina, misalnya, ia menilai tidak berada dalam kondisi ekonomi yang memungkinkan ekspansi manufaktur secara cepat sebab berisiko memicu gelembung investasi di sektor industrinya.
“Vietnam dan India juga tidak dapat diandalkan karena keduanya bergantung pada konsumsi AS untuk tumbuh dan keduanya terkena tarif yang lebih tinggi daripada Indonesia,” kata Ezaridho dalam risetnya, Kamis (3/4).