Kemenkeu: Investasi Jadi Kunci Ekonomi RI Bisa Melesat Hingga 6%
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12% secara tahunan (yoy). Kementerian Keuangan menilai, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% hingga ke level 6% dibutuhkan penggerak lain selain konsumsi masyarakat.
“Kalau Indonesia mau tumbuh lebih tinggi di atas 5% atau mencapai 6% dan seterusnya, itu tentu diperlukan driver yang lebih kencang. Perlu investasi yang lebih kuat untuk memperkuat pertumbuhan,” kata Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kemenkeu, Masyita Crystallin, dalam acara Katadata Policy Dialogue: Arah APBN Kita, Jumat (15/8).
Dalam 15 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5% dengan konsumsi masyarakat sebagai penopang utama. Untuk mengubah pola tersebut, Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) guna memfasilitasi strategi dan ide investasi yang lebih cepat.
Masyita mengungkapkan, tren investasi sudah mulai terlihat membaik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) melonjak dari 2,12% pada kuartal I menjadi 6,99% pada kuartal II 2025.
“Tentunya ini mungkin baru di satu sektor machinery. Tapi tentu kita mengharapkan di hampir semua sektor industri itu terjadi pertumbuhan yang disebabkan oleh investasi yang lebih tinggi,” ujarnya.
Investasi Mulai Jadi Penggerak Ekonomi RI
Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) Piter Abdullah menyebut, investasi mulai menjadi penggerak ekonomi pada kuartal II 2025.
“Driver kita pada kuartal II itu adalah selain konsumsi yang tidak turun, ya adalah investasi,” katanya.
Menurut Piter, peningkatan investasi tercermin dari data ekspor-impor. Impor barang modal pada Januari–Juni 2025 mencapai US$ 23 miliar atau tumbuh 20,90% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 19,03 miliar.
Kenaikan ekspor dipicu fenomena front loading, yakni mitra dagang yang mengimpor produk lebih awal dan menumpuknya. “Ini karena kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump,” katanya.
