Pemerintah Buka Akses Pinjaman ke Pemda dan BUMN, Solusi atau Beban Utang Baru?

Rahayu Subekti
29 Oktober 2025, 17:06
utang
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/Spt.
Pengendara bermotor melintas di dekat proyek MRT di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (18/11/2024). Bank Indonesia mencatat posisi utang luar negeri Indonesia pada triwulan III 2024 tercatat sebesar 427,8 miliar dolar AS, atau secara tahunan tumbuh sebesar 8,3 persen yang bersumber dari sektor publik serta pengaruh faktor pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah membuka kanal baru pembiayaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat. Aturan ini memungkinkan pemerintah daerah (pemda), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memperoleh pinjaman langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kebijakan ini disebut sebagai langkah strategis untuk mempercepat pembangunan dan memberikan ruang gerak fiskal yang lebih luas. Namun, para ekonom mengingatkan bahwa peluang tersebut datang dengan risiko besar terhadap disiplin fiskal nasional dan potensi terjerat utang baru.

Risiko terhadap Fiskal Nasional

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk mendorong proyek strategis yang selama ini tertahan karena keterbatasan pendanaan.

“Kebijakan ini berpotensi mempercepat pembangunan tanpa bergantung pada utang luar negeri, tetapi juga membawa risiko besar bagi kondisi fiskal nasional,” ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (29/10).

Menurutnya, jika tidak diatur secara ketat, pinjaman dari pusat kepada pemda, BUMN, dan BUMD bisa menambah beban APBN dan menciptakan moral hazard.

“Proyek-proyek yang tidak produktif bisa saja tetap dijalankan karena risiko gagal bayar ditanggung pemerintah,” kata Yusuf.

Yusuf menegaskan, kebijakan ini hanya akan efektif bila disertai disiplin fiskal dan batas pinjaman yang jelas. Tanpa itu, daerah justru bisa menjadi semakin bergantung pada pusat.

“Pemerintah perlu menetapkan batas pinjaman berdasarkan kapasitas fiskal dan kelayakan proyek, serta menerapkan mekanisme seleksi dan audit independen,” katanya.

Risiko Uang Tidur Jadi Cicilan Tanpa Output

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengingatkan bahwa kesiapan di lapangan sering kali masih rendah. Ia menyoroti fakta bahwa saldo kas pemda masih menumpuk di bank dan banyak proyek belum ready to finance.

“Memberi utang pada organisasi yang belum siap eksekusi berpotensi mengubah uang tidur menjadi cicilan pasti tanpa output memadai,” kata Syafruddin.

Menurutnya, jika proyek-proyek molor, maka stabilitas fiskal nasional bisa ikut tertekan karena APBN tetap menanggung carry cost dan risiko kontinjensi.

“Lebih aman bila pemerintah pusat tetap menjadi pihak yang berutang untuk agenda nasional, sementara daerah diperkuat lewat transfer berbasis kinerja,” ujarnya.

Syafruddin menambahkan, pengawasan kualitas belanja dan tenggat eksekusi yang tegas perlu diperkuat untuk mencegah pemborosan anggaran.

Konsekuensi Bunga dan Ketergantungan Baru

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyoroti aspek lain yaitu tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal untuk menanggung konsekuensi bunga pinjaman.

“Kalau daerah berutang, tentu saja ada konsekuensi tingkat bunga yang harus dibayar oleh daerah,” kata Tauhid.

Ia menilai, hanya daerah dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang memadai dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat yang layak menerima pinjaman. Daerah dengan fiskal lemah akan kesulitan membayar cicilan dan berpotensi menumpuk utang baru.

Selain itu, risiko lain datang dari ketidakpastian dana transfer ke daerah (TKD) yang nilainya bisa berubah tergantung kebijakan pusat.

“Bisa saja pemda jadi ketergantungan utang kalau daerahnya tidak punya sumber pendanaan PAD yang bagus,” ujarnya.

Para ekonom sepakat, kunci dari kebijakan ini terletak pada tata kelola (governance). Pemerintah harus memastikan setiap pinjaman benar-benar produktif, memiliki nilai tambah ekonomi, dan disertai rencana pembayaran yang realistis.

Tanpa itu, ruang gerak fiskal yang dibuka melalui PP Nomor 38 Tahun 2025 bisa berbalik menjadi beban jangka panjang yang menggerus fondasi fiskal nasional.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...