Ekonomi Thailand Hanya Tumbuh 1,2%, Masih Kalah dari Indonesia
Ekonomi Thailand melambat pada kuartal III 2025, tumbuh 1,2% secara tahunan. Angka ini lebih rendah dibanding pertumbuhan kuartal II yang mencapai 2,8%.
Dibandingkan dengan Indonesia, pertumbuhan ekonomi Thailand masih jauh lebih rendah. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% pada periode yang sama.
Secara kuartal, ekonomi Thailand justru mengalami kontraksi 0,6%. Meski begitu, untuk sembilan bulan pertama tahun ini, ekonomi Thailand tetap tumbuh 2,4%.
Sementara pertumbuhan kuartal keempat diperkirakan di bawah 1%. National Economic and Social Development Council (NESDC) menjelaskan bahwa perlambatan itu dipengaruhi oleh menurunnya kepercayaan ekonomi di tengah ketidakpastian politik, ketegangan dengan Kamboja, serta penurunan produksi manufaktur akibat pemeliharaan kilang minyak.
"Pertumbuhan negatif kuartal ketiga merupakan ekspansi terlemah dalam 10 kuartal terakhir. Namun terlalu dini untuk menyatakan ekonomi masuk resesi teknis," kata Sekretaris Jenderal NESDC Onfa Vejjajiva dikutip dari Bangkok Post, Senin (17/11).
Untuk kuartal keempat, NESDC memperkirakan pertumbuhan 0,6%, dengan memperhitungkan stimulus pemerintah yang sudah ada, sementara insentif tambahan seperti Thailand Fast Pass belum dimasukkan dalam proyeksi.
Sementara itu, Burin Adulwattana Managing Director Kasikorn Research Centre (K-Research) mengatakan ekonomi kuartal ketiga lebih rendah dari perkiraan 1,6% karena lambatnya investasi dan belanja pemerintah.
Meski begitu, sektor swasta menunjukkan pertumbuhan solid didukung investasi pusat data, relokasi produksi, dan ekspor yang tumbuh 11%, sejalan dengan proyeksi NESDC.
K-Research merevisi naik perkiraan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal keempat menjadi 0,8%, didukung stimulus pemerintah, termasuk skema co-payment "Khon La Khrueng Plus" dan pemulihan pariwisata.
"Kami tidak lagi memperkirakan ekonomi akan masuk resesi teknis pada kuartal keempat," ujar Burin. Namun, ia menyoroti perlunya mendorong wisatawan untuk meningkatkan pengeluaran, khususnya melalui promosi pariwisata kesehatan dan wellness.
Kepala Riset Ritel CGS International Securities Thailand Gun Hathaisattha menambahkan, pertumbuhan kuartal ketiga sedikit di bawah perkiraan pasar dan perlambatan bisa berlanjut jika tidak ada stimulus tambahan.
Di sisi pemerintah, Menteri Keuangan Ekniti Nitithanprapas optimistis stimulus akan mendorong pertumbuhan PDB tahun ini di atas 2% dan memicu rebound pada kuartal keempat.
Pemerintah berencana menambah skema co-payment Khon La Khrueng Plus dengan tambahan 2.000 baht bagi pedagang yang mengikuti program peningkatan keterampilan, yang diharapkan mendongkrak sektor ritel.
Diperkirakan Kembali Melambat Pada 2026
Ekonomi Thailand diperkirakan melambat pada 2026 akibat dampak kebijakan tarif balasan Amerika Serikat (AS). Pertumbuhan PDB diproyeksikan turun menjadi 1,7% dibandingkan perkiraan 2% tahun ini.
Onfa mengatakan pertumbuhan ekonomi Thailand tahun ini tetap diperkirakan 2%, sesuai proyeksi sebelumnya pada 18 Agustus. "Asumsi utama proyeksi kami adalah volume perdagangan global, yang awalnya diperkirakan akan menyusut tajam," ujar Onfa.
NESDC merevisi perkiraan pertumbuhan perdagangan global dari 2,7% menjadi 3,4%, mendukung pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,2% dibanding perkiraan sebelumnya 3%.
Namun untuk 2026, pertumbuhan ekonomi Thailand diperkirakan lebih rendah karena efek tarif AS yang akan menekan volume perdagangan global, yang diproyeksikan hanya tumbuh 2,3%, sementara PDB global tumbuh 2,8%.
Selain dampak tarif AS, Thailand juga menghadapi tantangan dari tingginya utang sektor swasta, volatilitas sistem ekonomi dan keuangan global, serta ketidakpastian politik dan ekonomi domestik menjelang dan setelah pemilu.
Onfa menambahkan, banyak ekspor Thailand ke AS masuk dalam Pasal 232 US Trade Expansion Act 1962, sehingga berpotensi terkena tarif khusus AS. "Sebanyak 82% ekspor Thailand ke AS masuk dalam kategori ini, lebih tinggi dibanding Indonesia dan Vietnam," katanya.
