PLN Butuh Rp 55 Triliun Untuk Pensiunkan Dini PLTU Sebesar 5,4 GW
PLN menyatakan siap menjalankan tugas dari pemerintah untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap. Dengan catatan ada bantuan pendanaan yang diberikan. PLN membutuhkan hingga US$ 3,8 miliar atau Rp 54,5 triliun untuk mempensiunkan PLTU dengan total kapasitas 5,4 gigawatt (GW).
EVP Electricity System Planning PLN Edwin Nugraha Putra mengatakan pihaknya berharap adanya bantuan pendanaan dari luar negeri. Terutama untuk kebutuhan mempensiunkan PLTU secara dini. Sebab, perusahaan harus mengganti rugi skema pembelian listrik dari pihak swasta melalui kebijakan Take or Pay.
"Kami siap mengeluarkan (pensiunkan) 5,4 GW pembangkit asalkan ada biaya untuk menggantikan TOP pembangkit-pembangkit tersebut sebesar US$ 3,8 miliar," ujarnya dalam diskusi Indonesia menuju Net Zero Emission 2060, Rabu (8/12).
Menurut dia jika rencana pensiun dini PLTU dengan total 5,4 GW terealisasi, maka setidaknya hampir 900 metrik ton emisi karbon dioksida (CO2) dapat dihilangkan.
Adapun jumlah emisi yang dikeluarkan dari pembangkit-pembangkit yang dioperasikan PLN selama ini paling besar berasal dari PLTU. "Gas sebesar 34 juta ton CO2 pada 2030 dan lainnya dari batu bara sebesar hampir 300 juta ton CO2," katanya.
Seperti diketahui, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Kementerian Keuangan menyebut berdasarkan kemampuan APBN dan tren investasi di Tanah Air, pendanaan tersebut tak bisa mengandalkan keuangan negara.
Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan total kebutuhan investasi hijau untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dengan usaha sendiri pun tidak memungkinkan mengandalkan APBN. Dia menyebut 40% dari pembiayaan dengan usaha sendiri perlu diperoleh dari luar APBN.
"Untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC), 40% dari nya mungkin tidak akan terpenuhi. Perlu dipenuhi dari sektor swasta di luar APBN," kata Masyita beberapa waktu lalu.
Sedangkan untuk mencapai target pengurangan emisi sebesar 41% dengan bantuan internasional, itu pun sebanyak 55% tidak akan terpenuhi oleh APBN. Artinya keterlibatan swasta dalam pendanaan ini sangat dibutuhkan.
Masyita menjelaskan kebijakan fiskal perubahan iklim akan diarahkan untuk mengoptimalkan pendanaan yang ada. Terutama dengan tetap mobilisasi pendanaan di luar APBN, baik itu domestik maupun pendanaan internasional.
Adapun biaya yang dibutuhkan untuk mitigasi perubahan iklim paling besar berasal dari sektor energi dan transportasi. Setidaknya kebutuhannya mencapai lebih dari Rp 3.300 triliun. Sedangkan berdasarkan survei lain, kebutuhan dana untuk sektor energi dan transportasi ini bahkan mencapai Rp 3.500 triliun.
Guna mobilisasi pendanaan domestik, maka pihaknya akan mengoptimalisasi fungsi dan dukungan APBN dalam proyek hijau serta membuat peran dana APBN menjadi katalisator dalam pemupukan dana perubahan iklim. Selain itu, Kementerian Keuangan juga akan meningkatkan keterlibatan swasta.