Soal Ekspor Bijih Nikel Ilegal ke Cina, ESDM: Ada Perbedaan Kode HS
Kementerian ESDM menduga adanya indikasi perbedaan penetapan kode HS alias Harmonized System yang dirujuk oleh Pemerintah Cina dan Indonesia dalam kasus dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke Cina.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Muhammad Wafid, mengatakan bahwa Kementerian ESDM tengah menggencarkan koordinasi ke Pemerintah Cina lewat korespondensi dengan Kedutaan Besar RI (KBRI) di Beijing.
Koordinasi itu ditujukan untuk mendapatkan klasifikasi pencatatan ekspor komoditas mineral dari otoritas Cina. "Bisa keliru soal kode HS, bisa dari komoditas yang berbeda kan," kata Wafid di Kementerian ESDM pada Senin (17/7).
Adapun Kode HS adalah sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk mengklasifikasi produk perdagangan dan turunannya. Sistem berstandar internasional tersebut dikelola oleh World Customs Organization yang beranggotakan lebih dari 170 negara anggota dan berkantor di Brussels, Belgia.
Dia melanjutkan, dugaan adanya ekspor ilegal dapat terjadi karena adanya perbedaan persepsi dalam pencatatan ekspor komoditas mineral antara Indonesia dan Cina. Wafid menjelaskan, perbedaan persepsi itu mengacu pada cara masing-masing negara dalam menentukan kode penjualan barang tambang.
Wafid mengatakan dugaan ekspor ilegal dapat terjadi karena adanya perbedaan persepsi dalam pencatatan ekspor komoditas mineral antara Indonesia dan Cina. Dia mencontohkan, Indonesia masih membuka ekspor bijih besi yang kemungkinan masih mengandung mineral ikutan dalam bentuk bijih nikel.
Pada kesempatan tersebut Wafid menyangkal bahwa dugaan ekspor bijih nikel ke Cina merupakan hal yang terjadi secara sengaja. "Menurut kami ada kemungkinan salah memahami kode HS, kami tidak akan main-main mengenai larangan ekspor ini," ujar Wafid.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan menindaklanjuti adanya dugaan ekspor ilegal lima juta ton bijih nikel ke Cina.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan bahwa adanya dugaan penyelundupan ekspor bijih nikel ke Cina sangat beralasan. Pasalnya, pihaknya juga pernah menemukan sekaligus mencegah kejadian serupa dengan volume 71.000 ton pada September 2021.
"Lima juta ton ini bukan barang yang sedikit. Dugaan penyelundupan ini sejak tahun 2020, berarti sejak dilarangnya ekspor bijih nikel dan konsentratnya," kata Nirwala dalam Mining Zone CNBC pada Senin (26/6).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa pihaknya telah mengetahui adanya praktik ekspor bijih nikel secara ilegal. APNI pun telah merapatkan hal tersebut dengan Kementerian ESDM pada 2022 lalu.
Menurut Meidy, modus operandi ekspor bijih nikel ilegal yang pihaknya temui pada 2021-2022 menggunakan kode HS 2604 yang mengacu pada komoditas nikel olahan atau nickel pig iron (NPI).
APNI mencatat ada pengiriman ekspor bijih nikel ilegal sebanyak 839.161 ton pada 2021 dan 1,08 juta ton pada 2022 dengan nilai sekira US$ 54,64 juta. Praktik dalam dua tahun tersebut sama-sama menggunakan modus operasi pemakaian kode HS 2064 yang mengacu pada produk olahan bijih nikel.
Meidy mengatakan kode HS 2604 merupakan kode penjualan untuk perusahaan atau pabrik pengolahan, bukan produk pertambangan.
Dia mendorong Bea Cukai agar lebih waspada dalam meloloskan dokumen penjualan dengan upaya pengecekan lebih lanjut pada komoditas yang dilaporkan dan mewaspadai pabrik yang memiliki akses ke pelabuhan internasional untuk ekspor produk olahan nikel.
"Dokumen pelaporan penjualan yang digunakan HS 2604, itu adalah untuk NPI atau sejenisnya. Jadi bukan bijih nikel," kata Meidy pada forum yang sama.