Transisi Energi di Indonesia Jangan Sampai Ganggu Tiga Kondisi
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo, menilai reformasi transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan di Indonesia harus menunggu momentum yang tepat.
Adapun momentum yang dimakud oleh Wahyu adalah waktu dan kondisi yang dimungkinkan untuk melakukan transisi tanpa menimbulkan peristiwa susulan, seperti mengganggu keuangan BUMN terkait, stabilitas politik, dan daya beli masyarakat.
“Reformasi transisi energi harus dilihat dari momentumnya, paling tidak harus bisa dilakukan secara kebijakan politik, dari fiskal, sosialnya,” kata Wahyu saat menjadi pembicara dalam webminar "Fossil Fuel Subsidy Reform at the G20: How To Achieve the Post-Pandemic Recovery", Rabu (16/3).
Wahyu menyebut, fase pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dapat dimanfaatkan sebagai pintu masuk transisi energi. Namun, momentum transisi tersebut bisa menjadi bumerang jika dilakuakan tanpa perhitungan yang terukur.
“Prinsipnya momentum transisi itu melindungi masyarakat miskin dan rentan. Misalnya transisi energi ini dilakukan waktu lebaran atau puasa akan berdampak pada inflasinya yang tinggi. Momentumnya kurang pas,” ujarnya.
Masih menurut Wahyu, salah satu instrumen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil adalah dengan memberikan subsidi untuk energi terbarukan. Selain itu, distribusi subsidi harus tepat sasaran dan menjangkau masyarakat rentan dan kurang mampu.
Ia menilai, subsidi yang diberlakukan kepada sejumlah komoditas energi masih belum tepat sasaran dan belum menimbulkan dampak signifikan di masyarakat. “LPG 3 kg itu masih bisa dinikmati orang mampu, idealnya tidak seperti itu, Konsekuensinya akan meningkatkan kesenjangan ekonomi,” ujarnya.
Lebih lanjut, komoditas energi bersubsidi yang dinilai cukup progresif adalah listrik dan solar. Kedua komoditas bersubdisi ini dinilai mampu menjangkau kelompok rentan dan masyarakat kurang mampu.
Jika subsidi berjalan efektif, keuangan negara tidak lagi harus menanggung subsidi yang tak tepat sasaran dan bisa dialokasikan untuk pengembangan inovasi teknologi dalam upaya menuju transisi energi. “Jika subisidi efektif, maka peluang pengembangan energi baru itu makin kuat,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Ministerial Adviser Ministry of Finance of Finland, Pekka Moren, menyebut tiap negara yang ingin melakukan transisi energi harus mengidentifikasi dan menganalisis jenis energi terbarukan yang cocok di wilayahnya. “Ini isu yang penuh tantangan, selain dari aspek finansial juga dampak fiskal,” ujarnya.
Moren menambahkan, isu transisi energi merupakan sebuah isu besar yang harus disikapi, dibahas dan dilaksanakan secara global. Kebijakan politik internasional perlu disepakati secara global dan inklusif serta perlu adanya solidaritas masyarakat internasional dalam upaya transisi energi.
“Saya pikir transisi energi ini sangat komprehensif dan tentu harus ada kesepakan bersama antara para pihak yang masih aktif menggunakan energi fosil dan para pihak yang ingin melakukan transisi energi. Itu sangat penting,” kata dia.
Moren berharap, Presidensi G20 di Indonesia dapat menjadi forum global dalam pembahasan isu transisi energi. “Dan ini penting bagaimana negara internasional secara bersama melakukan kesepakatan di G20 untuk membicarakan standard dari penerapan energi terbarukan,” tuturnya.