BI: Dampak Kenaikan Bunga Negara Maju jadi Agenda Prioritas G20
Sejumlah negara maju dunia seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris telah mulai menormalisasi kebijakan moneternya di tengah tekanan inflasi yang tinggi. Kondisi ini dapat berdampak ke negara berkembang sehingga penting untuk dibahas dalam pertemuan jalur keuangan KTT G20 Bali.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan bahwa strategi normalisasi kebijakan ini harus direncanakan dengan seksama dan dikomunikasikan dengan baik untuk menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi.
"Sehingga pemulihan ekonomi dapat tetap terjaga. Ini menjadi salah satu agenda prioritas G20 dalam mewujudkan pemulihan bersama," ujarnya dalam Seminar Internasional G20, Rabu (26/1).
Bank sentral Inggris telah mengumumkan kenaikan pertama bunga acuannya pada bulan lalu, menjadikannya sebagai bank sentral besar pertama yang memulai kenaikan suku bunga.
Sementara bank sentral AS, The Federal Reserve (Fed) sudah mulai mengurangi pembelian obligasi (tapering off) sejak November. Bahkan Fed telah memberi sinyal yang kuat untuk mengakhiri kebijakan tersebut sekaligus menaikkan suku bunga pada bulan Maret mendatang.
"Beberapa negara memulai normalisasi dengan kenaikan bunga acuannya, dan spill overnya kepada negara emerging yang masih menghadapi tantangan pemulihan ekonomi," kata Dody.
Meski demikian, Dody menyebut dalam pembicaraan G20 nantinya negara-negara tidak bermaksud mencari satu solusi yang akan diaplikasikan bersama. Menurut dia, tidak ada keharusan bagi setiap negara menyepakati satu instrumen yang sama, karena setiap negara tentu membutuhkan skema normalisasi moneter yang berbeda-beda.
Namun, pembahasan dalam agenda tersebut terutama untuk memberikan pemahaman terkait risiko normalisasi moneter. Selain itu, juga untuk membantu negara berkembang dan emerging menentukan langkah untuk memitigasi risiko efek limpahan.
"Agenda G20 di exit strategy ini memberikan pemahaman kepada member apa risiko dan juga manfaatnya jika dilakukan bersama, sehingga tidak ada yang tertinggal dalam pemulihan ekonomi," kata Dody.
Dalam seminar tersebut, hadir pula Deputy Director General Kementerian Keuangan dan Ekonomi Korea Selatan Byungsik Jung yang menyebut normalisasi moneter ini akan berimplikasi terhadap pengelolaan utang negara berkembang dan emerging.
Selain itu, efeknya juga terhadap berkurangnya aliran modal di tengah momentum pemulihan ekonomi. "Normalisasi di negara maju akan meningkatkan tekanan terkait dengan utang dan aliran modal sehingga diperlukan dukungan dan kerjasama global dalam mengatasi tantangan tersebut," kata Byungsik.
Sebagai salah satu negara berkembang dan emerging market, BI menyebut perekonomian domestik masih menunjukkan perkembangan positif. Kondisi ini didukung sinergi bauran kebijakan yang ditempuh baik otoritas fiskal juga moneter dalam menghadapi ketidakpastian yang masih tinggi.
BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 di rentang 3,2%-4% dan meningkat di kisaran 4,7%-5,5% pada tahun ini. "Ditopang oleh konsumsi swasta, investasi dan ekspor di tengah risiko terkait pandemi Covid-19 yang tetap perlu diwaspadai," kata Doddy.
Merespon normalisasi kebijakan negara maju, BI mengarahkan fokus kebijakan moneternya tahun ini dalam menjaga stabilitas dengan memitigasi spillover negara maju.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang serta ekonomi keuangan inklusif dan hijau akan diarahkan untuk mendukung pemilihan ekonomi.