Johanis Tanak, Capim KPK yang Pernah Diintervensi Jaksa Agung
Sepuluh nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diserahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses uji kelayakan dan kepatutan akan dilaksanakan mulai pekan ini.
Salah satu di antara sepuluh capim KPK itu adalah Johanis Tanak, satu-satunya wakil dari Kejaksaan yang berhasil lolos seleksi. Ia adalah Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI.
Peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya ini cukup dikenal di lingkungan kejaksaan. Pada 2014, ia menjabat sebagai wakil kepala Kejaksaan Tinggi Riau sebelum dipindahtugaskan menjadi kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah di tahun yang sama.
(Baca: Nawawi Pamolango, Capim KPK yang Pernah Adili Patrialis Akbar)
Intervensi Jaksa Agung di Kasus HB Paliudju
Baru saja pindah tugas ke Kejati Sulawesi Tengah, Tanak disambut tugas untuk menyelesaikan kasus korupsi yang pelakunya adalah mantan Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju. Pada saat menjalankan tugasnya, Tanak sempat menghadapi dilema. Ia dipanggil oleh Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. "Saya ditanya siapa yang saya tangani. Saya katakan, beliau korupsi dan menurut hasil pemeriksaan kami, unsur-unsur, bukti-bukti pengangkatan perkara sudah cukup," kata Tanak seperti dikutip Kompas.com.
Prasetyo mengatakan kepada Johanis bahwa HB Paliudju adalah kader Partai Nasdem yang dilantik olehnya. Ia menjelaskan kepada Prasetyo mengenai pandangan publik yang menyoroti posisi Jaksa Agung yang dipimpin kader dari Partai Nasdem.
Tanak mengatakan, momentum tersebut justru tepat untuk membantah keraguan publik mengenai jaksa agung yang dijabat orang partai. Prasetyo sempat meminta waktu sebelum mengambil keputusan. "Beliau lalu telepon saya, mengatakan agar itu diproses dan besoknya saya tahan," ujar Tanak.
Dalam uji publik, Tanak mengungkapkan pentingnya integritas bagi penegak hukum. Ia mengaku beberapa kali mendapatkan tawaran agar menerima uang suap dari pihak yang berperkara. Namun, ia tidak pernah menerima suap tersebut. Dalam penanganan kasus korupsi, ia menilai pencegahan lebih penting dibandingkan penindakan.
Ia menilai tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK keliru secara ilmu hukum. Operasi berarti kegiatan yang sudah direncanakan sedangkan menurut ilmu hukum tangkap tangan seharusnya dilakukan seketika saat terjadi tindak pidana.
(Baca: Luthfi Jayadi Kurniawan, Capim KPK yang Ingin Bongkar Korupsi di TNI)
Mengembalikan Kerugian Negara
Salah satu prioritas Johanis Tanaka jika terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023 adalah mengembalikan kerugian negara. Menurutnya, bukan hukuman badan yang perlu diterapkan kepada para koruptor. Pasalnya, hukuman badan justru dinilai bisa menambah kerugian negara.
Jika KPK telah mengetahui ada oknum yang akan melakukan tindak pidana penyuapan atau korupsi, ia mengusulkan agar oknum tersebut dipanggil lebih dulu. Ia melihat saat ini proses pemberantasan korupsi dengan menangkap, menyidik, dan menahan para pelaku akan menghamburkan uang negara. "Dalam konteks korupsi, kita ingin jangan sampai uang negara dihambur-hamburkan," ujarnya.
(Baca: Lili Pintauli Siregar, Capim KPK yang Ingin Lindungi Karyawan & Saksi)
Penyumbang bahan: Abdul Azis Said (Magang)