Pajak Belum Diterapkan, Bursa Karbon Diprediksi Sepi Peminat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa perdagangan bursa karbon akan dimulai pada 26 September 2023. Namun, ekonom memperkirakan transaksi di bursa karbon pada tahap awal bakal sepi peminat karena pajak karbon belum diterapkan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika perdagangan bursa karbon diluncurkan terlebih dahulu sedangkan pajaknya belum diterapkan, peminatnya akan sedikit. "Tidak ada insentif dan disinsentif bagi pelaku usaha, terutama yang bergerak di sektor migas, pertambangan, serta perkebunan besar yang ingin terlibat dalam perdagangan karbon sebagai pembeli karbon," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, pada Jumat (22/9).
Jika sudah ada pajak karbon, para pelaku usaha harus memilih untuk membayar pajak atas kelebihan emisi yang dihasilkan atau melakukan offsetting dengan bursa karbon.
Untuk itu, Bhima meminta pemerintah untuk segera mempercepat dalam penerapan pajak bursa karbon. Selain itu, pajak karbon di Indonesia terlalu kecil. Bahkan, relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata negara berkembang lainnya yang sudah memiliki instrumen pajak karbon.
“Harusnya pajak karbon cepat diberlakukan dengan tarif yang lebih tinggi, sehingga bisa memperdalam likuiditas bursa karbon itu sendiri. Itu mungkin yang sekarang harus dilakukan,” kata dia.
Target perdagangan karbon sebesar Rp 15 ribu triliun yang kerap kali dilontarkan oleh pemerintah dan OJK kemungkinan besar tidak bisa tercapai. “Kemungkinan harga perdagangan karbon akan jauh di bawah target itu, kalau belum ada pemberlakuan pajak karbon,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan saat ini penerapan pajak karbon belum diperlukan. Pasalnya, pemerintah masih menyiapkan peta jalan atau roadmap pajak karbon. Kementerian Keuangan juga belum bisa memastikan waktu yang pas untuk diterbitkannya roadmap pajak karbon.
"Tidak harus ada pajak karbon. Kita tidak butuh pajak karbon saat ini, karena kita melihat potensi pasar karbon itu sektor demi sektor sangat menjanjikan,” ujar Febrio saat ditemui di sela acara The 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition, di Jakarta, Rabu (20/9).
Menurut Febrio, potensi pasar karbon akan sangat menguntungkan dan menjanjikan, sehingga penerapan pajak karbon terutama pada pasar karbon di sektor kehutanan belum diperlukan
Mengutip UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 13 ayat (2), implementasi pajak karbon akan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau pasar karbon.
Di sisi lain, harga pajak karbon nantinya akan ditentukan oleh mekanisme pasar melalui aspek permintaan dan penawaran. Oleh sebab itu, mekanisme pasar tersebut yang akan menggambarkan bagaimana minat global untuk ikut berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Peta jalan pajak karbon bakal memuat empat aspek, yakni strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, memperhatikan pembangunan energi baru dan terbarukan, serta keselarasan antarberbagai kebijakan.
Regulasi itu juga akan merinci peta jalan penerapan pajak karbon. Tahun 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon. Tahun 2022-2024, penerapan pajak karbon sesuai skema cap and tax secara terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Pada 2025, penerapan pajak karbon untuk sektor lainnya.
SAFE Forum 2023 akan menghadirkan lebih dari 40 pembicara yang akan mengisi 15 lebih sesi dengan berbagai macam topik. Mengangkat tema "Let's Take Action", #KatadataSAFE2023 menjadi platform untuk memfasilitasi tindakan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan yang disatukan oleh misi menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Informasi selengkapnya di sini.