Apakah Pelaku Pasar Acungkan Jempol untuk Jokowi-JK?

Gundy
Oleh Gundy Cahyadi
15 September 2019, 09:45
Gundy
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Kampanye akbar dimulai sejak pukul 12.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Jokowi-Ma'ruf memberikan orasi sekitar pukul 16.30-17.00 WIB. Konser Putih Bersatu ini diisi penampilan musisi dan budayawan, dengan 500 artis akan tampil dalam acara tersebut, nama tenar yang hadir antara lain Slank, Addie MS, Bimbo, Ida Royani, Glenn Fredly, Sandy Sandoro dan Yuni Shara.

Kenaikan peringkat utang dari S&P pada Mei 2017 tentu saja menjadi penting karena membuka ruang peningkatan investasi portofolio ke Indonesia. Sebab, sebelum Mei 2017, jika seorang pedagang obligasi menawarkan surat utang pemerintah Indonesia berjangka 10 tahun kepada rekannya di Wall Street, New York, mereka akan merespons begini: “Maaf ya, dana kami hanya diamanatkan untuk membeli obligasi investment-grade.”

Setelah Mei 2017, rintangan itu menghilang. Apalagi, adanya upgrade lanjutan dari Fitch dan Moody’s semakin mempertegas kepercayaan institusi finansial dunia terhadap perekonomian Indonesia di bawah Jokowi-JK.

Kendala Defisit Transaksi Berjalan

Bisa dibilang bahwa pelaku pasar sebenarnya mengacungkan dua jempol bagi pemerintah Jokowi-JK seandainya performa kurs rupiah terjaga sejak 2014. Sayangnya, data Bloomberg menunjukkan bahwa kurs rupiah telah melemah hingga 18 persen  terhadap dolar AS sepanjang periode Juli 2014 - Febuari 2019.

Bahkan, di Asia, rupiah menjadi mata uang terlemah kedua setelah ringgit Malaysia (melemah 22 persen). Ringgit dan rupiah diikuti oleh peso Filipina dan rupee India, yang masing-masing melemah sebesar 17 persen dan 15,5 persen.

Persoalan utama yang membuat rupiah, rupee dan peso melemah tajam adalah defisit transaksi berjalan yang dihadapi oleh ketiga negara. Indonesia dan India mempunyai defisit transaksi berjalan atau current account deficit sekitar 2,5 – 3 persen dari PDB, sedangkan Filipina sebesar 2 persen dari PDB pada 2018. 

Secara teori, sebagai negara berkembang yang membutuhkan investasi asing, sudah sewajarnya Indonesia memiliki defisit transaksi berjalan. Setidaknya itu yang kita pelajari dari “Economics 101” yang memaparkan tentang prinsip-prinsip makro ekonomi. Memang penyebab  dari current account deficit di Indonesia adalah permasalahan struktural dalam perekonomian Indonesia.

Seperti kita ketahui, setelah proses pemulihan dari krisis keuangan 1997-98, Indonesia menjadi negara yang sangat bergantung terhadap sektor komoditas. Ketika era booming komoditas berakhir pada 2012-2013, nilai ekspor Indonesia jatuh secara signifikan. Pada saat bersamaan, Indonesia juga memiliki ketergantungan tinggi terhadap barang-barang impor untuk memproduksi berbagai macam produk dalam negeri.

Satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah guna membalikkan defisit transaksi berjalan adalah mengekang permintaan impor. Namun, ini kemungkinan besar akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan dapat memicu resesi.

Karena itu, mengatasi permasalahan struktural ekonomi Indonesia memang perlu perombakan besar-besaran, baik terhadap infrastruktur fisik dan non-fisik. Tambalan sekilas tidak akan menyelesaikan masalah. Sumber akar masalahnya yang harus ditangani dengan benar. 

Ini sama halnya ketika Anda menemukan masalah genangan air di kamar mandi Anda. Jika itu disebabkan oleh kebocoran keran air, maka tukang ledeng dapat mengatasinya dengan cepat. Namun, jika penyebab kebocoran juga disebabkan oleh kebocoran pipa yang tersembunyi di lantai atas kamar mandi dan adanya korosi di atap rumah, maka permasalahannya tidak bisa cepat diselesaikan.  

Sebenarnya, melalui serangkaian reformasi yang dilaksanakan selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Jokowi-JK telah berusaha memperbaiki masalah struktural ini. Insentif bagi sektor manufaktur dan peningkatan konektivitas transportasi di seluruh negeri hanyalah beberapa contoh.

Reformasi itu memang tidak bisa langsung mengubah Indonesia menjadi raksasa manufaktur berikutnya di Asia. Salah satu alasannya biaya logistik Indonesia belum bisa kompetitif dibandingkan Thailand ataupun Malaysia dalam waktu dekat.

Yang paling utama bagi Indonesia adalah perekonomian sudah bergerak ke arah yang benar. Satu pencapaian kecil yang tidak kalah penting adalah kenyataan bahwa persentase impor barang-barang konsumsi dari total nilai impor telah turun menjadi 13,8 persen pada 2018 dari 14,6 persen pada 2014.

Defisit transaksi berjalan mungkin tetap akan ada, tetapi setidaknya Indonesia sekarang mengimpor lebih banyak bahan baku dan barang modal - yang relatif lebih produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Nilai Tukar Dolar AS
(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Upaya lain yang perlu dilakukan untuk meredakan kekhawatiran pasar atas kesinambungan defisit transaksi berjalan adalah meningkatkan jumlah investasi asing di sektor riil (FDI). Pada umumnya, jika defisit transaksi berjalan melebihi jumlah FDI, artinya defisit transaksi berjalan juga akan dibiayai oleh investasi portofolio yang berjangka pendek. Jika ini yang terjadi, mata uang lokal akan rentan terhadap adanya global market sell-off.

Sayangnya, selama tiga tahun terakhir, jumlah FDI ke Indonesia rata-rata sekitar US$ 20 miliar per tahun atau hanya sekitar 2 persen dari PDB. Ini berarti lebih rendah dari defisit transaksi berjalan dan lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga lainnya. Contohnya, Vietnam. Menurut data Bank Dunia, negara ini mampu menarik FDI hingga 6,3 persen dari PDB pada tahun 2017.

Keyakinan di Pasar

Pemerintah memang masih akan perlu kerja keras untuk terus membenahi masalah struktural, termasuk peningkatan FDI. Sedangkan, manfaat penuh dari pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung mungkin baru akan terasa beberapa tahun ke depan. Untuk sementara ini, kecuali pemerintah ingin mengambil risiko resesi, defisit transaksi berjalan akan tetap ada.

Hampir pasti, kurs rupiah masih akan berada di bawah tekanan lagi pada episode global market sell-off berikutnya, baik itu karena ketegangan geopolitik di Timur Tengah, tanda-tanda perlambatan ekonomi yang tajam di Tiongkok atau hanya karena tweet Donald Trump. Ini akan tercermin dari pelaku investor obligasi saat menghadapi situasi tersebut.

Dugaan saya, kebanyakan dari mereka akan tetap tenang dan tetap berinvestasi di Indonesia. Dan, itu juga bukan karena alasan yang tidak rasional.

(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)

Halaman:
Gundy
Gundy Cahyadi
Panel Ahli Katadata Insight Center
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...