Mengkritisi RUPTL 2019-2028 terhadap Perkembangan Energi Terbarukan

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA
Oleh Elrika Hamdi
17 Maret 2019, 11:55
Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA

(Baca: Pariwisata Menggeliat, Kebutuhan Listrik di NTB Diproyeksi Naik 9%)

Ketiga, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan bahwa RUPTL kali ini merupakan RUPTL yang memihak pada energi terbarukan. Hal ini ditandai dengan bertambahnya porsi energi terbarukan sebanyak 1.800 Megawatt (MW).

Pembangkit energi terbarukan sendiri masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) skala besar. Kendati demikian, yang patut diapresiasi adalah adanya lonjakan alokasi yang cukup tajam untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) dari 811 MW menjadi 1.534 MW.

Namun sayangnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang teknologinya semakin murah dan kompetitif serta menjadi andalan utama sumber energi terbarukan di banyak negara lain, malah seperti dipandang sebelah mata. Hanya sekitar 908 MW yang dialokasikan untuk PLTS (diluar pembangkit listrik tenaga surya atap) untuk 10 tahun mendatang, atau turun 13% dari alokasi tahun lalu.

Bandingkan dengan rencana Vietnam untuk membangun 3.000 MW PLTS hingga tahun 2020. Sepertinya ambisi Indonesia untuk membangun pembangkit tenaga surya ini ketinggalan jauh dari negara-negara tetangga.

(Baca: RUPTL 2019-2028: Kontribusi Gas Bumi untuk Pembangkit Berkurang

Keempat, dengan berkurangnya alokasi investasi untuk sistem jaringan transmisi dan distribusi (T&D), sulit rasanya menemukan korelasi antara perencanaan jaringan T&D PLN dengan rencana pembangunan pembangkit energi terbarukan. Karena, energi terbarukan memerlukan sistem T&D yang kuat dan fleksibel agar dapat diserap secara baik.

Untuk mencapai tingkat fleksibilitas tersebut, infrastruktur sistem jaringan dan cara mengatur jaringan (grid management) perlu diperbaharui. Hal ini tidak tercerminkan di dalam dokumen RUPTL yang baru.

Terakhir, Menteri ESDM mengumumkan suatu terobosan kebijakan dengan diperbolehkannya proyek energi terbarukan berkapasitas di bawah 10 MW untuk diusulkan kepada PLN tanpa harus masuk ke dalam RUPTL terlebih dahulu. Hal ini sebenarnya dapat melemahkan tata kelola perencanaan dan pengembangan energi terbarukan.

Perlu diingat bahwa RUPTL adalah dokumen teknis yang harus memiliki sifat terukur karena merefleksikan target pemerintah. Pentingnya perencanaan proyek energi terbarukan agar terukur dalam RUPTL adalah untuk mengantisipasi adanya perbedaan signifikan antara permintaan listrik dengan kesediaan jaringan listrik.

Narasi yang diberikan oleh Menteri ESDM untuk mendukung pembangkit energi terbarukan tentu sangat dihargai oleh banyak kalangan. Namun, narasi tersebut tidak sepenuhnya tercermin dalam angka-angka yang tertera di dokumen RUPTL 2019-2028 ini. Sepertinya para penggiat energi terbarukan masih harus menunggu revisi di tahun depan untuk dapat melihat apakah Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya di bidang energi terbarukan.

Halaman:
Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA
Elrika Hamdi
Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEFA)
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...