Usangnya Indikator PDB di Tengah Revolusi Digital

Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq
Oleh Rahmanda Muhammad Thaariq
20 Januari 2019, 08:48
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq

Jumlah konsumen produk ‘gratisan’ tidak bisa dipandang sebelah mata. Wikipedia mencatat pada Oktober 2018 terdapat lebih dari 16 miliar kunjungan halaman. Rata-rata penonton bulanan Youtube pun mencapai 149 miliar.

Di Google Play, Google Map telah diunduh lebih dari 1 miliar. Di sisi lain, sampai pertengahan 2018 terdapat 1,4 miliar pengguna aktif Gmail, 1,5 miliar pengguna aktif WhatsApp, dan 300 juta lebih pengguna aktif Skype.

Ketika Anda menelpon saudara Anda melalui telepon seluler, misalnya, maka hal tersebut akan tercatat dalam penerimaan perusahaan dan pada akhirnya akan terjumlah dalam statistik PDB, namun tidak akan tercatat apabila Anda melakukannya melalui WhatsApp atau Skype.

Ketika perhitungan PDB disepakati lebih dari setengah abad yang lalu, tak ada yang menyangka di masa depan produsen bisa memasarkan produk secara masal tanpa harga. Erik Brynjolfsson, ekonom teknologi kenamaan dari Massachusetts Institute of Technology, menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena marginal cost replikasi dan transmisi produk digital nyaris nol.

Terlebih lagi, berbeda dengan produk fisik, produk digital bersifat non-rival — ketika dikonsumsi oleh satu orang, barang tersebut bisa dikonsumsi orang lain secara bersamaan.

Selain menciptakan produk tanpa harga, teknologi digital juga mampu menurunkan harga suatu produk, bahkan diiringi dengan peningkatan kualitas dan ragam. Hal ini dapat terlihat jelas dalam produk musik dan buku.

Kini, harga berlangganan musik streaming satu bulan bahkan lebih murah daripada harga pembelian sebuah CD album musik. Sementara itu, rata-rata harga jual e-book yang bestseller di Amerika Serikat lebih murah 22% dibandingkan harga jual buku cetak. Bahkan, di Tiongkok,  e-book paling laku terjual dibanderol 74% lebih murah dibandingkan buku cetak.

Melihat turunnya harga produk musik dan buku digital maka jangan heran apabila total pendapatan industri tersebut turut menyusut. Data dari International Federation of the Phonographic Industry (IPFI) menunjukkan bahwa pada 2017 total pendapatan industri musik hanya sebesar US$17 milyar, lebih rendah 33% dibandingkan pada 2000 yang sebesar US$25,2 milyar. Asosiasi Penerbitan Buku Amerika Serikat menyebut selama lima tahun terakhir pendapatan industri buku berada dalam tren penurunan.

Meskipun terjadi penurunan pendapatan di industri musik, nyatanya konsumen menikmati kualitas suara yang lebih baik dan bisa mengakses tanpa batas lagu dan artis melalui streaming. Walaupun industri buku mengalami penurunan pendapatan, kini konsumen bisa mengakses buku ratusan kali lipat lebih banyak melalui toko buku online.

Apabila rata-rata toko buku konvensional hanya memiliki 40.000 judul buku, toko buku online, seperti Opentrolley.com bisa menyediakan 10 juta judul buku dan bahkan Bookdepository.com sanggup menyediakan 19 juta judul buku.

Semakin banyak konsumsi produk digital sebenarnya menghasilkan nilai ekonomi yang semakin besar pula, namun hal itu sulit terekam dalam PDB karena konsep perhitungan PDB sendiri adalah nilai pasar. Oleh karenanya, konsumsi produk digital tanpa harga tidak akan terlihat dalam statistik PDB. Produk digital yang memiliki harga lebih murah dibandingkan substitusi produk fisiknya akan mengurangi perhitungan nilai PDB.

Penelitian dari Erik Brynjolfsson dan Joo Hee Oh mengungkap fakta bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat saja dalam kurun waktu 2007–2011 dapat tumbuh 0,3% lebih tinggi apabila mempertimbangkan produk digital tanpa harga.

Disamping itu, penelitian lain milik Leonard Nakamura dkk. memperkirakan pertumbuhan ekonomi riil Amerika Serikat selama 2005–2015 seharusnya tumbuh 1,53% daripada yang tercatat sebesar 1,42%.

Revolusi digital membuat nilai perekonomian seolah-olah melambat. Namun kenyatannya, kita menikmati peningkatan consumer surplus secara signifkan. Bagaimanapun juga, revolusi digital masih setengah jalan. Pada 2017, penetrasi internet baru separuh dari populasi penduduk dunia dan diperkirakan meningkat secara eksponensial dalam beberapa tahun mendatang.

Ini berarti, indikator PDB semakin misleading dalam menghitung nilai ekonomi yang tercipta. Mengingat perhitungan tingkat kesejahteraan juga berbasis data PDB maka indikator PDB per kapita pun semakin tak relevan. Kita akan salah mendiagnosis perekonomian apabila masih bergantung pada data PDB.

Percayalah, nilai ekonomi dunia lebih besar dan perbaikan kesejahteraan lebih baik daripada yang ditampilkan dalam data. Sudah saatnya para ekonom dan ahli statistik merumuskan standar formula baru dalam menghitung nilai aktivitas ekonomi yang mempertimbangkan efek digitalisasi.

(Opini lainnya: Menularkan Revolusi Industri Penerbangan ke Angkutan Laut)

Halaman:
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq
Rahmanda Muhammad Thaariq
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...