Menuju Penemuan Ladang Migas Raksasa

A. Rinto Pudyantoro
Oleh A. Rinto Pudyantoro
6 Januari 2019, 13:41
Rinto Pudyantoro
Ilustrator: Betaria Sarulina
Pertamina menyatakan melakukan efisiensi sebelum mengambil alih blok Mahakam seperti biaya pengeboran sumur dan catatan waktu pengeboran dipercepat. Suasana di Lapangan Senipah, Peciko dan South Mahakam (SPS) blok Mahakam, Kutai Kartanegara, Rabu (27/12/2017).

(Baca juga: Investor Migas Minta Calon Presiden Bisa Perbaiki Iklim Investasi)

Bak ‘choir’, setiap kementerian mungkin memiliki suara yang berbeda-beda namun diharapkan dengan kolaborasi dan komunikasi akan menghasilkan suara merdu dan harmonis ‘iklim investasi’. Harmonisasi ‘choir’ akan sangat ditentukan peran konduktor atau dirigen. Sehingga penting menentukan ‘pengarah’ suara, misalnya Kementerian ESDM dapat ditunjuk dan bertindak sebagai konduktor.

Ketiga, masalah persaingan antarnegara, yang berkaitan dengan iklim investasi. Investor memiliki kebebasan untuk ‘meletakan’ uangnya di mana saja bergantung preferensi mereka. Keputusan investasi tak hanya tergantung jumlah potensi migas di suatu negara, namun ‘proteksi’ terhadap uang yang akan ditanamkannya. Proteksi ini berbentuk kepastian hukum dan aturan.

Selain itu keberpihakan terhadap perpajakan di industri hulu migas merupakan hal yang penting bagi investor. Dahulu bisnis hulu migas di Indonesia pernah mengalami kejayaannya dengan perlakukan pajak khusus yang tidak mengacu pada aturan umum. Sejak sistem perpajakan khusus sudah tak berlaku, investor memilih memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara lain.

Keempat, masalah sosial dan politik, khususnya di Maluku dan Papua. Indonesia bagian timur, terutama Papua, membutuhkan sentuhan yang khusus. Papua memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Selain itu juga Papua memiliki adat istiadat yang sedemikian kental, yang diakui dengan Undang-undang Otonomi Khusus, meski implementasinya di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.

Pendekatan personal dan intensif lebih diperlukan dari pada pendekatan politis formal. Arahnya adalah menciptakan hubungan persaudaraan dan menjadikan OAP (orang asli papua) sebagai subjek dengan mengikutsertakan mereka dalam pembangunan.

Kegiatan sosialisasi menjelang eksplorasi tidaklah cukup. Apalagi cita-cita penemuan giant field yang membutuhkan kegiatan eksplorasi yang ‘masif’. Sejak sebelum rencana eksplorasi, pemerintah pusat dengan berbagai kementerian perlu menciptakan suasana ‘menerima’ perubahan di komunitas adat OAP.

Persiapan meliputi faktor politik dan sosial, sampai dengan psikis supaya secara mentalitas OAP dan pemda setempat welcome terhadap kegiatan hulu migas dan dampak perubahannya.

Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten wajib berkoordinasi dalam menangani masyarakat Papua. Bukan sebaliknya, menuntut perusahaan untuk menuntaskan masalah tersebut. Penanganan masalah ini merupakan ranah kewajiban pemerintah, seperti halnya dalam menangani masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan.

Akan sangat berat bagi perusahaan apabila dalam berbisnis diwajibkan pula menanggung beban mengatasi masalah sosial tersebut. Perusahaan memang memiliki kewajiban berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat di sekitar lapangan. Namun membebankan keseluruhan kepada perusahaan jelas tidak adil dan dapat berdampak pada keengganan berinvestasi di daerah tersebut.

Pemda penghasil migas seperti Sorong, Raja Ampat dan Bintuni hendaknya memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk menangani masalah sosial. Oleh karena itu peraturan daerah khusus DBH Migas untuk Papua sangat dibutuhkan.

Kesimpulan

Krisis hulu migas sudah terjadi. Penurunan produksi migas setiap tahun akan terus berlangsung. Tidak ada acara lain selain mengupayakan penemuan cadangan migas berupa penemuan giant fields. Apalagi impor minyak akan terus membumbung seiring dengan penurunan produksi dalam negeri dan kenaikan konsumsi masyarakat.

Indonesia bagian Timur adalah masa depan hulu migas di Indonesia. Studi Badan Geologi mengarahkan giant field akan terjadi di Papua dan Maluku. Oleh karena itu diperlukan kampaye besar-besaran untuk ekplorasi migas dan penawaran Wilayah Kerja di daerah Papua dan Maluku.

Untuk itu dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mendukung ekplorasi migas, dan menciptakan iklim investasi migas. Penyederhaan peraturan dan sinkronisasi peraturan di tingkat kementerian, pemerintah pusat dan daerah merupakan kebutuhan untuk menciptakan kepastian hukum demi perbaikan iklim investasi.

Seiring proses perbaikan iklim investasi berjalan, sedini mungkin perlu mempersiapkan orang asli daerah terutama di Papua. Penduduk asli diharapkan dapat menerima perubahan sekaligus dapat bersaing dengan para pendatang. Memproteksi mereka supaya tidak ‘kalah’ bersaing itu penting, tetapi memberdayakan mereka untuk menjadi lebih hebat, itu jauh lebih penting.

Halaman:
A. Rinto Pudyantoro
A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...