Mendeteksi Akar Ekonomi dari Radikalisme dan Gejolak Sosial

Faisal Basri
Oleh Faisal Basri
11 Januari 2017, 12:15
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina
Massa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merusak kawat berduri saat aksi unjuk rasa di Jakarta, Jumat (4/11). Aksi tersebut menuntut pemerintah segera memproses secara hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama karena dianggap telah menistakan Agama Islam.

Nasib buruh tani pun tidak membaik. Upah riil mereka justru turun dalam dua tahun terakhir. Mereka tergolong sebagai pekerja informal di pedesaan. Nasib pekerja informal di perkotaan juga serupa, walaupun penurunan upah riilnya lebih kecil.

Sekitar 58 persen pekerja di Indonesia adalah pekerja informal dengan status pekerjaan utama meliputi berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar.

Secara umum sekalipun, upah riil cenderung mengalami penurunan. Penurunannya paling tajam terjadi tahun 2015.

Kenaikan upah minimum setiap tahun, selain tidak mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja, juga ternyata direspons pengusaha dengan menurunkan jam kerja. Faktor lain yang menyebabkan penurunan jam kerja adalah kapasitas terpakai yang turun. Nmaun, pengusaha berupaya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja karena ongkosnya relatif lebih mahal.

Bagaimana kaum pekerja menyiasati hidup dalam tekanan yang semakin berat? Pertama, lebih banyak anggota keluarga yang masuk pasar kerja. Sangat boleh jadi itu termasuk anak-anak yang terpaksa putus dari sekolahnya untuk menopang kehidupan keluarga. Tak heran, tingkat partisipasi angkatan kerja naik cukup tajam sejak 2014.

Kedua, pekerja harus mencari pekerjaan tambahan atau menambah jam kerja. Lebih dari seperempat pekerja Indonesia bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Jumlah pekerja keras Indonesia hanya kalah dengan Korea Selatan dan Hong Kong. Ada anggapan bahwa ‘terlalu miskin bagi mereka untuk menganggur’ (too poor to be unemployed).

Ditambah lagi mencari pekerjaan semakin sulit. Jika sebelum tahun 2010 mencari pekerjaan membutuhkan waktu tidak sampai enam bulan, sejak tahun 2010 bertambah panjang menjadi satu tahun, bahkan lebih.

Kemiskinan pengangguran

Dengan melihat berbagai data mikro tersebut, kita harus lebih hati-hati menginterpretasikan data pengangguran dan kemiskinan yang justru menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung melemah sejak 2012 justru beriringan dengan penurunan pengangguran dan kemiskinan.

Jadi, perlu kajian lebih mendalam di tingkat mikro untuk menyibakkan dinamika di kalangan masyarakat berpendapatan rendah.

Yang juga perlu diwaspadai adalah relatif tingginya penganggur di kalangan usia muda. Negara-negara di Timur Tengah yang mengalami gejolak politik pada umumnya juga ditandai oleh tingginya penganggur belia.

Penganggur muda Indo

Tak pelak lagi, tantangan ke depan adalah menggelar pembangunan yang lebih inklusif. Tak ada pilihan lain kecuali mentransformasikan pembangunan dari exclusive political and economic institutions menjadi inclusive political and economic institutions.

*Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di situs faisalbasri.com pada 9 Januari 2017, dengan judul "Mendeteksi Akar Ekonomi dari Radikalisme dan Disharmoni Sosial". Publikasi tulisan ini di situs Katadata.co.id telah atas sepengatahuan dan izin dari penulis.

Halaman:
Faisal Basri
Faisal Basri
Ekonom dan Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...