APBN yang Tak Kredibel dan Pesimisme Tax Amnesty

Faisal Basri
Oleh Faisal Basri
11 Agustus 2016, 12:31
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina

Dampak makroekonomi dari tekanan terhadap perbankan tersebut adalah penurunan pertumbuhan investasi (pembentukan modal tetap bruto), yakni dari pertumbuhan 5,57 persen pada triwulan I-2016 menjadi 5,06 pada triwulan II-2016. Padahal, pada triwulan II-2016 investasi menyumbang 32 persen, sedangkan belanja konsumsi pemerintah hanya 9 persen.

Pesimisme tax amnesty

Di sisi lain, realisasi pengampunan pajak atau tax amnesty sejauh ini masih seret. Sampai 8 Agustus lalu, Direktorat Jenderal Pajak telah menerbitkan 1.442 surat pengampunan pajak (SPP) dengan harta yang dilaporkan senilai Rp 9,87 triliun atau Rp 6,84 miliar per SPP.

Jika rata-rata itu kita gunakan untuk mencapai target Rp 165 triliun, maka jumlah yang melapor harus sekitar 24.123 wajib pajak. Sedangkan jumlah SPP sekarang baru sekitar 6 persen.

Dengan keterbatasan data, sulit memperkirakan apakah target penerimaan tambahan pajak sebesar Rp 165 triliun bakal tercapai.

Jika nilai uang tebusan dari pemohon pengampunan pajak mengikuti pola seperti sekarang yang didominasi oleh deklarasi dalam negeri (81,3 persen), tampaknya kita cenderung pesimistis. Secara implisit pemerintah lebih mengharapkan wajib pajak kelas kakap dari deklarasi luar negeri dan repatriasi luar negeri, yang saat ini masing-masing hanya 12 persen dan 6,7 persen.

Sementara itu, realisasi penerimaan pajak  sampai akhir Juli tercatat Rp 607 triliun. Jumlahnya turun 2,3 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Hal ini cukup ganjil karena lazimnya penerimaan pajak tidak turun sepanjang pertumbuhan ekonomi masih positif dan terjadi inflasi.

Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasi 3 persen saja, secara alamiah penerimaan pajak setidaknya naik 8 persen.

Penurunan penerimaan pajak tahun ini sangat mungkin terjadi karena pembayaran pajak tahun ini sudah ditarik akhir tahun lalu dan meningkatkan permohonan restitusi pajak.

Untuk mengurangi risiko fiskal, pemerintah menambah pemotongan belanja menjadi Rp 133,8 triliun. Apakah pemotongan itu membebaskan pemerintah dari risiko fiskal? Agaknya tidak, karena besaran pemotongannya tidaklah sangat progresif, hanya 6,4 persen dari total belanja.

Jadi, tidak menutup kemungkinan terjadi pemotongan tambahan jika realisasi penerimaan pajak tetap seret dan program pengampunan pajak tidak berjalan mulus.

*Tulisan ini dikutip dari situs faisalbasri.com bertanggal 10 Agustus 2016. Pemuatannya sudah mendapat persetujuan dari penulis, dengan melalui sedikit proses penyuntingan.

Halaman:
Faisal Basri
Faisal Basri
Ekonom dan Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...