Krisis, Fakta atau Fatamorgana

No image
Oleh
17 Juni 2014, 09:38
No image
KATADATA/

Masih segar dalam ingatan Boediono, yang kala itu menjabat Direktur BI, masa-masa kelam itu. Oleh karenanya, ketika ia kembali dihadapkan pada situasi ancaman kolaps Bank Century di tengah terjadinya krisis likuiditas perbankan dan tidak adanya penjaminan penuh dana nasabah (blanket guarantee), ia tak mau berspekulasi dan memilih menyelamatkannya.

Aset bank bobrok ini memang cuma sekitar 0,7 persen dari perbankan nasional. Tapi, perlu dicatat, aset 16 bank yang ditutup pada 1997 pun hanya 2,3 persen alias 0,14 persen setiap bank. 

Pengalaman ini mengajarkan, penutupan bank sekecil apa pun dalam situasi krisis ibarat memantik api di jerami yang kering. Apalagi banyak fakta menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat itu tidak dalam kondisi sehat-walafiat. Likuiditas di pasar uang antar-bank pada November 2008?saat Century diselamatkan?sangat kering, seperti pada 1997. 

Menurut catatan BI, saat itu ada 18 bank setara Century plus 5 Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang berpotensi kesulitan likuiditas.  Bahkan tiga bank BUMN raksasa, yaitu Mandiri, BRI, dan BNI, juga meminta tambahan dana likuiditas ke pemerintah hingga Rp 45 triliun, meski yang disetujui akhirnya hanya Rp 15 triliun.

Besarnya tekanan terhadap perbankan nasional ini terekam dalam grafik Banking Pressure Index Danareksa Research Institute. Titik dalam grafik BPI pada November 2008 sudah di atas ambang batas aman. Bahkan sudah lebih tinggi dari masa-masa awal krisis moneter Indonesia pada Maret 1997. 

Itu sebabnya, BI pada 29 Oktober 2008 sudah membunyikan ?alarm? siaga satu Crisis Management Protocol, yang memantau ketat kondisi moneter dari jam ke jam. Dalam situasi rawan seperti inilah beragam peraturan diubah dan dilahirkan untuk meredam krisis. 

Salah satu yang diributkan hingga kini, yaitu perubahan peraturan BI tentang persyaratan pemberian FPJP, yang akhirnya dinikmati Century. Sebagian curiga ada persekongkolan jahat di baliknya. 

Kecurigaan kian besar karena dibumbui oleh berbagai rumor. Salah satunya, rumor penggelontoran dana bailout Century secara tunai, senilai triliunan rupiah, di hari Sabtu dan Minggu?seperti juga dilansir oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Padahal faktanya, dana itu pertama kali dikucurkan via transfer pada Senin pagi, 24 November 2008, pukul 07.42. 

Kesesatan persepsi lainnya, yaitu seolah-olah jika Century ditutup tak ada biayanya alias gratis. Padahal, biaya penutupan ditaksir mencapai Rp 6,4 triliun?untuk penggantian dana nasabah yang dijamin?yang berarti tak jauh beda dengan nilai bailout Rp 6,7 triliun. Biaya penutupan bahkan pada akhirnya bisa lebih mahal, jika bank ini tahun ini bisa dijual dengan harga bagus.

Menurut Guru Besar hukum pidana UGM Prof. Eddy Hiariej (Katadata, 23/5), bukti adanya situasi krisis sebetulnya sudah terjawab dengan dilansirnya tiga Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) pada Oktober 2008. Sebab, seperti dinyatakan dalam pasal 22 UUD 1945, lahirnya Peppu terkait dengan hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dua dari tiga Perpu itu pun sudah disahkan oleh DPR menjadi UU.

Ketika terjadi keadaan darurat, Prof. Eddy menggarisbawahi, berlakulah asas necessitatis non hebetlegem yang berarti dalam keadaan darurat tak berlaku hukum (Kompas, 23/5). Dengan kata lain, kebijakan bailout Century untuk penyelamatan ekonomi tak bisa dipidanakan, kalau pun ada berbagai kekurangsempurnaan di sana-sini.

Pendapat Prof. Eddy diperkuat oleh tiga guru besar hukum lainnya, yakni Prof. Hikmahanto Juwana (UI), serta kesaksian Prof. Komariah Sapardjaja (Unpad) dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Mohamad Laica Marzuki di persidangan. 

?Permakluman? ini pulalah yang disampaikan oleh Ketua KPK Antasari Azhar dalam rapat yang digelar oleh Presiden untuk menghadapi krisis global pada 9 Oktober 2008. Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa dalam situasi krisis, bisa saja ditempuh langkah-langkah darurat penyelamatan perekonomian nasional kendati perangkat hukumnya belum sempurna. 

Antasari menyambut baik ajakan Presiden. ?Ada yurisprudensi bahwa hilanglah sifat melawan hukum jika kepentingan umum terlayani,? katanya seperti tertuang dalam notulen rapat.

Di rapat yang sama, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution bahkan memuji langkah cepat Presiden SBY. ?Saya sependapat sekali, dan saya kira you handled it well, pak Presiden,? katanya. Ia terkesan dengan kisah pertemuan Pelosi, Bernanke dan Paulson, yang disebutnya sebagai sebuah langkah cepat yang dilandasi kebersamaan untuk menghadapi krisis ekonomi.

Persoalannya, kebijakan tanggap-darurat inilah yang kini justru sedang diadili dalam perkara Century. Namun, berbeda dengan Geithner, Boediono menyatakan tak pernah menyesali keputusannya. Sebab, di matanya, krisis saat itu bukanlah fatamorgana, tapi sebuah fakta. Dan terbukti, dengan bailout Century, perekonomian Indonesia pun selamat dari krisis. 

* * *

Artikel opini ini sudah dimuat di Koran Tempo, Edisi 16 Juni 2014

Halaman:
No image
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...