- Presiden Joko Widodo meminta pensiun dini satu PLTU batu bara menjelang pelaksanaan Konferensi Iklim PBB 2023 (COP-28), supaya Indonesia dapat mendeklarasikan telah melakukan pensiun dini PLTU batu bara dalam rangka transisi energi.
- Kementerian ESDM menyebutkan diperlukan investasi sebesar US$ 1.108 miliar atau US$ 28,5 miliar per tahunnya, setara dengan Rp 453,2 triliun per tahun untuk menjalankan transisi energi.
- Anggaran dari APBN dianggap tak cukup kuat. Sementara itu, porsi pembiayaan dari sektor perbankan belum signifikan.
Presiden Joko Widodo disebut-sebut memerintahkan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap alias PLTU batu bara. Titahnya, tahun ini harus ada setidaknya satu PLTU batu bara yang dipensiunkan di sekitaran pelaksanaan Konferensi Iklim PBB 2023 (COP-28) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) pada 30 November 2023-12 Desember 2023.
Permintaan Jokowi itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana pada Jumat (27/10). Dadan mengatakan Jokowi menginginkan ada deklarasi Indonesia sudah mengimplementasikan pensiun dini PLTU dalam COP 28 nanti.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal Melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Dalam peraturan yang ditetapkan pada 4 Oktober 2023 itu, pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara bakal menggunakan uang negara.
Beleid ini ditanggapi pesimistis oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno. Ia menghitung, dibutuhkan setidaknya Rp 25 triliun untuk menghentikan operasional PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.
Menurut Eddy, kita harus mencari sumber pembiayaan lain. “APBN tidak mungkin, tidak kuat menanggung pensiun dini,” katanya dalam Acara Energy Corner, CNBC Indonesia, Selasa (24/10).
Direktur Utama IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia harus menghentikan sekitar sembilan Gigawatt (9 GW) pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini untuk mengejar target Just Energy Transition Partnership (JETP). Untuk merealisasikannya, dibutuhkan investasi awal senilai US$ 32 miliar atau sekitar Rp 450 triliun.
Namun dari sisi lain, menurut Fabby, penghentian tersebut tersebut dapat menekan biaya kesehatan hingga US$ 130 miliar atau setara dengan Rp 1.930 triliun. Laporan yang diterbitkan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan hal senada.
Menurut laporan itu, pembatalan proyek dan penghentian PLTU batu bara di Indonesia pada 2040 bisa mencegah 180 ribu kematian akibat polusi udara. Pensiun dini juga dapat menekan biaya kesehatan hingga US$ 100 miliar.
“Penelitian kami menunjukkan mengurangi emisi dari PLTU batubara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi,” kata Lauri Myllyvirta, Analis Utama CREA.
Hitung Dana untuk Transisi Energi
Pemerintah sudah membuat skenario energi beremisi karbon rendah dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik alias RUPTL 2021–2030. Dari skenario ini, porsi energi fosil akan berkurang dengan adanya penambahan porsi energi baru terbarukan alias EBT.
Secara rinci, porsi batu bara diproyeksi bakal turun dari 66,98% (2021) jadi 59,37% (2030). Porsi gas bumi juga akan turun dari 16,58% (2021) menjadi 15,44% (2030). Begitu juga dengan porsi bahan bakar minyak berkurang dari 3,52% (2021) menjadi 0,4% (2030). Porsi EBT, di sisi lain, akan ditingkatkan dari 12,6% (2021), menjadi 24,8% (2030).
Sementara itu hingga semester I 2023, sudah ada 12,7 GW total kapasitas pembangkit EBT yang terpasang di Indonesia. Ini setara dengan 15% dari total pembangkit sebesar 84,8 GW. Berikut penyebaran kapasitas EBT di Indonesia:
Sayangnya, dalam laporan yang dirilis oleh International Renewable Energy Agency (IRENA) disebutkan pendanaan dan investasi menjadi hambatan signifikan dalam mendorong transisi energi di Tanah Air. IRENA menyarankan pembiayaan diperluas dan kapasitas pembiayaan ditingkatkan.
Menurut laporan bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook itu, perbankan di Indonesia belum benar-benar terlibat dalam pembiayaan untuk energi terbarukan. "Pengembang yang butuh pembiayaan proyek energi terbarukan perlu mendekati investor atau lembaga keuangan internasional," bunyi laporan yang dirilis Oktober 2022 lalu.
Padahal, dalam laporan itu disebutkan Indonesia memerlukan investasi US$ 314,5 miliar untuk mendorong percepatan transisi energi di periode 2018–2030. Bila dirata-ratakan, Indonesia butuh investasi sebesar US$ 17,4 miliar per tahun atau setara dengan Rp 269,7 triliun per tahun.
Adapun investasi terbesar yang diperlukan, menurut perhitungan IRENA, adalah mendorong penjualan kendaraan listrik serta pengembangan PLTS berteknologi fotovoltaik atau sel surya. Ada pula pembangunan jaringan transmisi dan distribusi EBT, kemudian pembangunan PLTA.
Kementerian ESDM memiliki perhitungan berbeda. ESDM memperkirakan Indonesia memerlukan investasi sebesar US$ 1.108 miliar atau US$ 28,5 miliar per tahunnya. Bila dirupiahkan, ini setara dengan Rp 453,2 triliun per tahunnya.
Angka tersebut dihitung berdasarkan target transisi energi dan Net Zero Emission atau NZE pada 2060. Menurut Sekjen ESDM Dadan Kusdiana, perhitungan ini mencakup pembangunan pembangkit EBT beserta interkoneksi dan distribusinya.
Dadan menyebutkan saat ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu menyediakan sekitar 5% dari kebutuhan dana transisi energi. "Sisanya masih membutuhkan dukungan dari swasta dan pendanaan internasional," kata dia kepada Katadata, Selasa (31/10).
Salah Fokus Perbankan dalam Pembiayaan Hijau
Untuk mencapai target transisi energi itu, bank-bank dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) beramai-ramai menyatakan komitmen untuk menyalurkan berbagai pendanaan sesuai Kriteria Usaha Berwawasan Lingkungan alias KUBL. Istilah ini diatur dalam POJK Nomor 60/POJK.04/2017.
Dalam pasal empat tertulis 11 kegiatan usaha yang bisa dibiayai dari penerbitan efek bersifat utang berwawasan lingkungan alias green bond. Kegiatan usaha ini mencakup energi terbarukan, pencegahan dan pengendalian polusi, transportasi ramah lingkungan, hingga bangunan berwawasan lingkungan.
Salah satu bank yang menyebutkan sudah bergerak dalam pembiayaan hijau adalah Bank BRI, yang menyebutkan sudah menyalurkan Rp 79,4 triliun untuk sektor KUBL per kuartal II 2023. Ini setara 7,3% dari total portofolio kredit bank tersebut dan nilainya juga sudah meningkat 5,2% bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Direktur Kepatuhan BRI A.Solichin Luthfiyanto menjelaskan, dari Rp 79,4 triliun pembiayaan itu, sebesar Rp 5,7 triliun di antaranya disalurkan ke proyek energi terbarukan dan Rp 12 triliun untuk transportasi ramah lingkungan. Sektor lain yang juga memperoleh pendanaan hijau ialah proyek bangunan berwawasan lingkungan.
Menurut Solichin, penghimpunan dana dari green bond berpotensi terus tumbuh dengan melihat data dari kuartal sebelumnya. Selain itu, ia menghitung tingkat pertumbuhan rata-rata investasi hijau BRI selama tiga tahun terakhir berada di level 9,37% dan optimistis akan bertumbuh.
Ia berpendapat, meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat global akan isu keberlanjutan memicu kebutuhan produk dan layanan dan ramah lingkungan. "Tak terkecuali di industri perbankan,” ujar Solichin.
Bank Mandiri juga memiliki portofolio pendanaan hijau senilai Rp 115 triliun hingga semester I 2023, yang setara dengan 11% total keseluruhan pendanaan bank. Dari jumlah ini, Rp 8,9 triliun bakal disalurkan untuk energi terbarukan dan Rp 3,2 triliun untuk transportasi ramah lingkungan.
Pendanaan ini dicantumkan dalam paparan kinerja Bank Mandiri pada kuartal II 2023. Namun, perseroan tak menjelaskan secara lebih rinci rencana penyaluran lain dari pendanaan hijau tersebut.
Sedangkan dalam paparan kinerja kuartal III 2023, Bank Mandiri mengklaim telah menyalurkan Rp 122 triliun pendanaan hijau atau setara 12% dari total pendanaan bank. Pendanaan untuk energi terbarukan meningkat jadi Rp 9,5 triliun dan pendanaan transportasi ramah lingkungan juga naik ke Rp 3,7 triliun.
Ada dua KUBL baru yang disebutkan oleh Bank Mandiri, yakni pertanian berkelanjutan (Rp 97,9 triliun) dan kegiatan berwawasan lingkungan lainnya (Rp 5,5 triliun). Meski memiliki angka relatif besar, pendanaan terhadap KUBL kalah besar dibandingkan dengan sektor UMKM dan kegiatan sosial.
Selain kedua bank di atas, ada Bank BNI yang juga memiliki portofolio pendanaan hijau. Apabila ketiga bank ini dibandingkan, portofolio Bank BNI menunjukkan pendanaan hijau memiliki porsi terbesar, mengalahkan BRI maupun Mandiri.
Per Kuartal II 2023, total portofolio hijau BNI senilai Rp 175,9 triliun atau setara 27,2% total pendanaan bank. KBLU yang memperoleh pendanaan terbesar dari BNI masuk dalam kategori ‘lainnya’, meliputi penggunaan air berkelanjutan dan manajemen limbah, dan sebagainya, senilai Rp 25,5 triliun.
Lalu, sektor pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan didanai sebesar Rp 18,9 triliun. Sedangkan pendanaan khusus untuk energi terbarukan mencapai Rp 9,7 triliun, sementara pencegahan dan pengendalian polusi mendapatkan pendanaan sebesar Rp 2,9 triliun.
Berikut perbandingan pendanaan tiap bank Himbara berdasarkan KBLU EBT:
Meskipun ada peningkatan pembiayaan dari perbankan untuk energi terbarukan per kuartalnya, jumlah ini dianggap tak signifikan. Koordinator AEER Pius Ginting mengatakan perusahaan pengembang energi bersih dari energi baru terbarukan (EBT) masih kesulitan untuk mengakses pembiayaan dari perbankan nasional sampai hari ini.
Padahal, data Kementerian ESDM 2019 lalu menunjukkan masih ada 18 proyek pembangkit listrik EBT yang belum memperoleh pembiayaan, meskipun sudah mengantongi kontrak jual beli listrik dengan PLN.
Selain itu, dilihat dari proporsi pembiayaan hijau ketiga bank Himbara di atas, terdapat ketidaksesuaian dengan memasukkan pendanaan UMKM dan kegiatan sosial dalam kaetegori pendanaan hijau. Jumlahnya bahkan jauh lebih besar daripada pendanaan hijau sesuai KBLU yang ditetapkan OJK.
Dari portofolio BNI, misalnya, pendanaan UMKM mencakup 67% dari total pendanaan hijau. Begitu juga dengan portofolio Bank Mandiri dimana pendanaan UMKM mencakup 51,7% dari total pendanaan hijau. Padahal, UMKM bukan merupakan KBLU yang ditetapkan OJK.
Transisi Energi Banyak Hambatan, Perbankan Masih Mendanai Bisnis Tinggi Emisi
Direktur Utama IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, masalah utama untuk transisi energi adalah kesediaan alias willingness dari berbagai pemangku kepentingan. "Melaksanakannya kan butuh biaya dan investasi yang besar. Kira-kira, investasi itu bakal menghasilkan uang atau tidak?” kata Fabby kepada Katadata, Jumat (13/10).
Ia menyebutkan langkah yang sudah ditempuh paling jauh selama ini adalah penangkapan emisi dengan teknologi. Namun, strategi tersebut hanya berupaya menghindari pelepasan emisi ke atmosfer tanpa benar-benar berhenti menggunakan energi fosil. Sebab itu ia mengatakan, ada beberapa pihak yang belum sudi meninggalkan bahan bakar fosil.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan atau TuK Indonesia, Linda Rosalina, mengatakan sudah banyak pendanaan yang dialirkan untuk transisi energi. Sayangnya, kata dia, pendanaan ini tidak ditelusuri dari hulu ke hilir. Jika ditelusuri dengan cermat, menurut Linda, terlihat bahwa pendanaan untuk sektor ekstraktif seperti tambang nikel dan batu bara masih didominasi oleh perbankan nasional.
“Kalau hilirnya mobil listrik, hulunya kan nikel atau batu bara, enggak bisa dipisah. Jadi justru pendanaan untuk transisi energi itu tidak sedikit, tapi banyak,” kata Linda saat ditemui Katadata, pada Jumat (13/10).
Padahal, kedua sektor pertambangan tersebut merupakan aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah tinggi. Mengutip data Global Energy Monitor, Indonesia menghasilkan 58 juta ton CO2e20 metana tiap tahun dari tambang batu bara. Sementara itu, setiap memproduksi 1 kilogram nikel akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 13 kg karbon dioksida (CO2).
Selaras dengan pernyataan Linda, laporan Global Coal Exit List yang dirilis 2021 lalu menemukan Bank Himbara masih mendanai proyek-proyek batubara. Bank Mandiri, misalnya, punya pinjaman total US$ 1,6 miliar dan penjaminan US$ 2,3 miliar untuk 10 perusahaan tambang di Indonesia dan Singapura. Beberapa nama yang muncul dalam daftar ini adalah PT Sinar Mas, Adaro, dan Indika Energy.
Bank Negara Indonesia juga meminjamkan US$ 641,6 juta dan memiliki penjaminan US$ 321,5 juta. Sementara BRI memiliki nilai pinjaman US$ 698 juta untuk usaha batu bara tiga perusahaan: Adaro, Darma Henwa, dan PLN.
“Itu yang kita lihat, ironi. Faktanya mereka memberi banyak pembiayaan, memfasilitasi bisnis-bisnis yang nyatanya terlibat dalam kerusakan lingkungan,” ujar Linda.
Tulisan ini merupakan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam fellowship 'Pentingnya Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia'.